Teori-teori Sosiologi

Minggu, 03 Juli 2011

ANTARA KESETARAAN DAN PERBENTURAN Nasionalisme, Etnisitas dan Agama di Indonesia dan Malaysia


ANTARA KESETARAAN DAN PERBENTURAN
Nasionalisme, Etnisitas dan Agama di Indonesia dan Malaysia
Oleh : Khairul Amin
08720044
Pengalaman historis asia tenggara khususnya yang berhubungan dengan etnisitas dan agama sangat komplek, dimana komplesifitas tersebut berakar pada kenyataan bahwa asia tenggara memang sangat plural, baik secara etnis maupun agama yang pada gilirannya mempengaruhi bentuk dan ekspresi nasionalisme itu sendiri. 
Selanjutnya, sejauh mengenai etnisitas, indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi. Karena secara etniks, indonesia terdiri atas lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda serta memiliki identitias kultural sendiri-sendiri. Disamping itu, indonesia juga memiliki 250 bahasa  yang berbeda-beda, namun kesadaran tentang komunitas etnis baru muncul ketika pemerintahan kolonial di awal abad 20 mulai mempercepat perubahan ekonomi dan sosial dengan cara mengembangkan komunikasi dan trasportasi yang kemudian membawa semakin individu-individu terlibat dalam kontak satu sama lain untuk pertama kalinya.
Pada saat yang bersamaan, kemajemukan etnisitas beserta potensi devisif, konflik dan disintegrasi secara signifika dapat diredam oleh faktor Islam yang merupakan agama mayoritas indonesia. Islam dalam hal ini menjadi supra identity dan fokus kesetiaan mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Hal tersebut dapat dilihat dari awal kedatangan dan perkembangannya,  islam tidak hanya berhasil menyatukan masyarakat indonesia secara keagamaan, tetapi juga memberikan basis ikatan sosial-keagamaan yang cukup kukuh.
Selanjutnya, berkat islam, bahasa melayu yang digunakan kelompok etnis kecil di Riau atau Sumatra Timur pada umunya menjadi lingua france oleh berbagai kelompok termasuk etnis jawa yang merupakan suku bangsa terbesar di kepulauan nusantara, yang mungkin wajar jika mereka menuntut bahasa jawa sebagai bahasa nasional.  Kesetiaan kepada islam di indonesia pada kenyataannya telah memperkuat kesadaran pengalaman sejarah yang sama yang kemudian menjadi salah satu dasar nasionalisme ketika nasionalisme belanda telah merajalela.
Sehingga dapat dikatakan bahwa islam juga menjadi salah satu unsur genuine pendorong munculnya nasionalisme Indonesia setelah (islam) berhasil menjinakkan sentimen etnisitas yang telah terjadi sepanjang sejarah. Hal tersebut diperkut oleh seorang  sarjana belanda bernama Blumberger yang mengatakan, “kekuatan besar islam adalah sebagai faktor sosial, sebagai simbol nasional”. Kemudian tjockroaminoto yang berpandangan bahwa islam telah menjadi faktor pengikat sosial dan simbol nasional.Dengan demikian, etnisitas yang ada di indonesian tidak menjadi penghambat yang segnifikan dalam  pertumbuhan nasionalisme indonesia.
Dengan memudarnya sentimen etnisitas yang menyangkut nasionalisme indonesia, kini tinggal dua kubu yang menjadi penghambat, yaitu nasionalis sekuler dan nasionalis islam. Namun yang perli dicatat sejak dekade-dekade pertama abad ke 20, di kalangan kaum muslim banyak mengalami perkembangan-perkembangan baru yang banyak berbeda dengan situasi mereka pada masa sebelumnya.
Perkembangan tersebut berawal dari penyebaran gagasan-gagasan baru islam yang sering disebut sebagai modernisme, atau tepatnya reformis islam yang pada awalnya muncul di wilayah minangkabau melalui tokoh-tokoh seperti Syaikh Muhammad Jamil Jembek dan Haji Abdul Karim Amrullah.
Dengan demikian, kasus-kasus etnisitas tidak atau hampir tidak pernah menjadi faktor penghambat yang segnifikan pertumbuhan nasionalisme indonesia. Bahkan dewasa ini etnisitas cenderung semakin kehilangan relevansinya sebagai salah satu tema politik.
Tidak terlepas dari pada itu, pengalaman maslaysia dalam persoalan etnisitas dan agama, agaknya lebih kompleks lagi, khususnya sejak abad 19. Sebelum masa ini pengalaman malaysia relatif sama dengan indonesia ketika perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik berlangsung cepat, semenanjung malaya dikuasai beberapa kerajaan melayu muslim yang tak jarang terlibat konflik satu sama lain.  Disintegrasi politik ini hampir bisa dipastikan bukan persoalan etnisitas apalagi agama, karena pada masa ini kaum melayu muslim merupakan etnis yang mayoritas. Tetapi disintegrasi politik yang ada di malaysia lebih disebabkan oleh motif-motif plitis dan ekonomi.
Kemudian, struktur demografis di semenanjung pada saat itu mengalami perubahan yang lebih dahsyat, yang pada gilirannya mempengaruhi keseimbangan hubungan antar etnis, khususnya kaum melayu ketiak kaum imigran cina yang teretarik dengan peluang-peluang ekonomi mulai berdatangan dengan jumlah yang cukup besar.  perkembangan demokgrafis cina yang cukup segnifikan menimbulkan kekhawatiran puak melayu, karena kelompok imigran-imigran cina yang dulu dapat dikontrol para penguasa melalui “kapitan cina” pada akhirnya sudah tidak bisa dikendalikan, apalagi setelah berbagai kelompok imigran cina membentuk organisasi-organisasi rahasia yang kemudian terlibat dalam konflik satu sama lain dan sangat berorientasi pada “negeri leluhur” mereka.
Pertumbuhan organisasi-organisasi rahasia cina merupakan faktor utama penghambat penyerapan imigran cina dalam sistem sosial dan politik melayu semenanjung. Faktor penghambat lain, seperti bisa diduga adalah perbedaan agama, tradisi kultural dan cara hidup yang mencolok.  Kenyataannya  kemudian, kaum imigran cina si semenanjung malaya mempertahankan kesetiaan yang tinggi kepada “tanah leluhur” merupakan cikal bakal dari apa yang disebut “nasionalisme cina perantauan” atau lebih dapat dikatakan bahwa  yang terjadi pada komunitas cina adalah sebuah diaspora atau menjadi komunitas diaspora.
Catatan kritis
Apa yang coba disampaikan oleh Asyumardi Azra dalam artikelnya tersebut dapat dikatakan sebagai suatu penjelasan yang sedikit berspekulatif, terutama dalam melihat islam sebagai salah satu faktor penting dalam membentuk ataupun menumbuhkan rasa nasionalisme serta merupakan faktor yang meruntuhkan sintemen etnisitas. Namun pada kenyataannya dapat dilihat beberapa tahun terakhir betapa konflik yang berbau sara mencuat kepermukaan. Ini jelas bentuk yang sangat kontra produktif dengan apa yang di uraikan oleh Asyumardi Azra, meskipun kita akui bahwa konflik yang berbau sara tesebut lebih bermuara pada konteks sistem kekuasaan, tetapi juga tidak dapat dinafikan bahwa konflik sara tersebut merupakan sebuah kenyataan yang sudah turut mengikis  rasa nasionalime indonesia.
Disisi lain, ketika ia menjelaskan tentang malaysia dapat dikatakan ia telah dengan baik menjelaskan bagaimana sebuah komunitas diaspora terbentuk, yang dalam hal ini ia contohkan dengan memotret bagaimana komunitas cina yang berada di malaysia menjadi komunitas cina perantauan, tetapi nasionalisme mereka masih berada pada negeri leluhur mereka.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar