Persaingan pasar yang semakin kuat
di masa sekarang ini, menghasilkan sebuah dilema. Dengan semakin beragamnya aktor
yang terlibat dalam perekonomian pasar membuat dua generasi pasar yaitu pasar
tradisional dan pasar atau toko modern saling beradu kekuatan. Masing-masing
pasar tersebut memiliki basis masa tersendiri. Pasar tradisional yang dengan
merupakan pasarnya masyarakat lapis bawa cenderung dirugikan dengan hadirnya
toko-toko modern.
Dibukanya tempat-tempat perbelanjaan
modern di kota-kota besar menimbulkan kegamangan akan nasib pasar tradisional
skala kecil dan menengah di wilayah perkotaan. Hilangnya pasar tradisional yang
telah berpuluh tahun menjadi penghubung perekonomian pedesaan dengan perkotaan
dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan.
Di Indonesia, supermarket lokal
telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar.
Pemberlakukan liberalisasi sektor ritel pada 1998 menjadi awal masuknya ritel
asing ke pasar dalam negeri. Akibatnya, persaingan dunia saudagar pun semakin
sengit. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di
kota-kota yang lebih kecil dalam rangka untuk mencari pelanggan baru dan
terjadinya perang harga. Akibatnya, persaingan bukan hanya antarsesama pasar
modern, pasar tradisional pun menjadi korban persaingan ini. Sebab, supermarket tidak hanya
mengincar pasar kelas menengah ke atas, tetapi juga kelas bawah. Dengan,
kondisi ini menyebabkan pasar tradisional kehilangan pelanggan akibat
membanjirnya produk-produk bermutu dengan harga murah dan lingkungan
perbelanjaan lebih nyaman yang disediakan. Lambat laun, sejumlah pasar tradisional
gulung tikar.
Pembahasan
Pertumbuhan pasar tradisonal hanya
5% per tahun, sedangkan pasar modern mencapai 16%. Sementara berdasarkan data
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), untuk di Jakarta saja,
hingga 2007 sudah ada tujuh pasar yang tutup. Persoalan ini tentu juga dialami
di negara berkembang lainnya. Kendati persaingan antar supermarket secara
teoritis menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan,
tetapi dampaknya pada pasar tradisional tidak bisa dihindari.
Dengan berbagai persoalan yang
dihadapi pasar tradisional selama ini, sangat mustahil bisa bersaing dengan
ritel modern. Apalagi, pasar tradisional identik dengan tempat kumuh, semrawut,
kotor, tindakan kriminal tinggi, tidak nyaman, fasilitas minim seperti parkir,
toilet, tempat sampah, listrik, air, jalan becek dan sempit. Bandingkan dengan
ritel modern yang nyaman, aman, dan harga bahkan lebih murah untuk ritel-ritel
tertentu. Jangankan
pasar tradisonal, berdirinya pasar modern besar juga telah mematikan mall-mall
lainnya yang lebih kecil. Ditingkat ini rupanya pasar benar-benar seperti rimba
belantara tanpa aturan, karena persaingan dimenangkan oleh yang paling kuat,
paling besar dan paling menguasai.
Hal tersebut sangat berdampak
pada pasar
tradisional, karena dipasar inilah sesungguhnya perputaran ekonomi masyarakat
terjadi. Disini uang beredar dibanyak tangan, tertuju dan tersimpan dibanyak
saku, rantai perpindahannya lebih panjang, sehingga kelipatan perputaran yang
panjang itu berdampak pada pergerakan perekonomian bagi kota dan daerah. Berbeda dengan pasar modern
besar, semua uang yang dibelanjakan tersedot pada hanya segelintir penerima
yang disebut dengan kasir dan efeknya bagi perputaran ekonomi lebih pendek,
karena itu sesungguhnya tidak terlalu membawa dampak pada perputaran sektor
lain diluar dirinya.
Teori ini merupakan teori
ekonomi makro sederhana, dimana bila uang disatu daerah rantai perpindahannya
lebih panjang, maka uang tersebut akan mampu membawa perputaran ekonomi lebih
tinggi bagi daerah tersebut, sebaliknya bila rantai perputarannya pendek maka
tidak akan banyak memberi dampak kemajuan ekonomi.
Catatan kritis
Jika dilihat dari berbagai segi
antara pasar tradisional dan pasar modern dapat dikatakan bahwa yang terjadi
pada dasarnya bukan persaingan, tetapi penindasan kemudian lubang kubur bagi
pasar teradisional yang dilahirkan oleh kebijakan yang tidak sensitif pada
nasib pedagang tradisional. Bukanlah
persaingan bila keseimbangan tidak terjadi. Persaingan diawali dari kesetaraan,
kesesimbangan dan kesamaan posisi.
Persaingan hanya memberi ruang
kompetisi strategi, karena itu persaingan selalu saja berada dalam satu kelas
yang sama, strata yang sama atau cakupan yang sama. Bukanlah persaingan bila
pesertanya tidak seimbang, karena yang akan terjadi justru pembantaian.
Referensi :
Baso Swasta dan
Irawan, , 2002. Manajemen Pemasaran Modern,
Liberty, Yogyakarta :
Delta Khoirunnisa
Sutisna, 2001. Prilaku Konsumen dan
Komunikasi Pemasaran, Yogyakarta : Remaja Rosdakarta
Rahman, Afzalur.
. 1995, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta : PT. Dana Wakaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar