Teori-teori Sosiologi

Minggu, 05 Juni 2011

Pertautan Demokrasi dan Civil Soceity


A.    Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah bangsa, kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran yang dapa kita ambil, terutama pelakasanaan demokrasi di berbagai bidang terutama di bidang politik. Menurut berbagai kajian, jumlah Negara yang secara formal menganut demokrasi meningkat secara drastis pada dasawarsa 1990-an; jumlah tersebut meningkat dari 76 negara (46,1%) dari jumlah seluruh Negara di dunia menjadi 117 (63,1%)[1]. Tetapi di samping perkembangan yang menggembirakan ini, kekhawatiran juga mulai berkembang melihat kecendrungan mandeknya demokrasi atau ketidakpastian transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi di eropa timur, bahkan di Indonesia.
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara.
Dalam demokrasi dikenal juga semua mengawasi semua, semua diawasi semua. Mata-mata itu tidak pernah berhenti melihat, telinga-telinga itu tidak pernah berhenti mendengar, mulut-mulut itu tidak pernah berhenti berbicara, dan hati itu tidak pernah padam dari amarah. Apalagi hanya tersedia satu kursi untuk memimpin. Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.
Karena hakikatnya yang dinamis, maka demokrasi berwujud melalui percobaan demi percobaan untuk melaksanakannya. Percobaan itu mungkin saja mengandung kekeliruan, yang jika disikapi dengan benar akan amat bagus dan diperlukan sebagai pelajaran, untuk diambil hikmahnya. Namun kekeliruan itu tetap harus dicegah jangan sampai fatal, agar tidak menghancurkan model yang sementara ini sudah ada dalam genggaman. Amat sulit diingkari bahwa pada tahap percobaan berdemokrasi telah banyak terjadi kekeliruan. Dalam kehidupan masyarakat, kekeliruan itu hingga tingkat tertentu telah sampai kepada tahap yang amat mengkhawatirkan
Seperti yang lainnya, Indonesia dibangun antara lain oleh imaginasi mengenai sebuah negara dan bangsa. Lewat proklamasi, para pendiri republik tercinta ini, khususnya Presiden Soekarno, sebenarnya tengah membayangkan berdirinya negara kebangsaan modern dengan model Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan, Bung Karno mengatakan terkesan oleh ide kerakyatan Amerika. Frase tentang pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Frase itu adalah ungkapan tentang faham kerepublikan (republicanism) dalam suatu negara kebangsaan modern yang berdaulat dan didirikan demi kesejahteraan seluruh warga negara, demi masalahat umum.
Dalam perkembangannya, Bung Karno dan angkatannya oleh berbagai kalangan dianggap tidak berhasil mewujudkan wawasan tersebut. Kemudian  Presiden Suharto melanjutkan rintisan dengan caranya sendiri, upaya itu berjalan efektif selama 30 tahun. Tetapi, dengan wawasan Pak Harto yang sangat terbatas tentang hakekat negara kebangsaan modern, upaya itu juga mengalami jalan buntu. Deretan jalan buntu itu harus diterabas, untuk kemudian seolah-olah kita kembali ke titik nol. Pangkal tolaknya ialah pemilihan umum yang relatif sangat berhasil, semasa peralihan singkat pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Kegagalan tersebut berakhir dengan gejolak politik dan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sepanjang tahun 1998 yang mengakibatkan  krisis kepercayaan[2]. Krisis tersebut mengguncang kepercayaan luar negeri terhadap kemampuan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan stabilitas politik. Sehingga Perubahan Indonesia menuju demokrasi jelas menjadi sangat dramatis[3]. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berada di bawah rezim represif, Indonesia mengalami leberalisasi politik dan demokratisasi. Hasilnya, Indonesia kini mulai disebut sebagai Negara demokrasi terbesar di dunia, dengan istilah lain sebagai Third Largest democracy in the world, setelah india dan Amerika Serikat.[4]
Proses-proses yang sangat memberi harapan sejak titik nol pemilu 1999 itu mengantarkan kita kepada keadaan sekarang, dalam pangkuan pemerintahan atau lebih tepatnya kepresidenan Abdurrahman Wahid. Sifatnya sebagai eksperimentasi yang sangat dini membuat seharusnya tidak aneh kalau terjadi banyak sekali trial and error, dalam usaha mewujudkan demokrasi tahap sekarang ini..
Namun yang kemudian menarik dari demokrasi pasca runtuhnya rezi orde lama adalah dengan mencuatnya wacana masyarakat madani (civil society) sebagai salah satu unsur penting dalam praktek berdemokrasi, dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang multikultur dan didominasi oleh masyarakat yang beragama islam semakin memberikan angin segar terhadap wacana tersebut. Dimana konsep masyarakat madani merupakan representasi dari masyarakat madinah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW[5] yang dapat dilihat dari piagam madinah dimana konsep demokrasi sama sekali sejalan atau parallel dengan konsep demokrasi maupun dengan konstitusi yang ada di Indonesia seperti dasar Negara pancasila dan UUD 1945.


B.    Demokrasi di Indonesia
Secara politik, Indonesia sejak awal kemerdekaannya memang telah memilih ideology  pancasila sebagai kesepakatan umum kaum muslimin   dengan hidup bersama kemajemukan di Negara-bangsa dan modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa lima sila sila dasar Negara yang menjadi dasar Negara sangat kondusif dan sesuai dengan cita-cita  kaum muslimin dalam memasuki era global civil society[6]. Kemudian, Transisi Indonesia menuju demokrasi sejak jatuhnya presiden Suharto pada 21 Mei 1998 dari kekuasaan yang dipegangnya selama lebih dari 30 tahun telah memberikan perubahan banyak pada praktek demokrasi yang ada saat ini. Demokrasi setidaknya dimaknai sebagai ruang bersama yang masih disepakati untuk menjelaskan banyak perbedaan-perbedaan, mengutarakan keinginan-keinginan, merajut harapan-harapan masing-masing agar dapat dikomunikasikan satu dengan yang lainnya. Demokrasi juga bisa bersatu dalam perbedaan sekaligus pada saat bersamaan berbeda dalam persatuan. Sesuatu yang sangat unik dan rumit. Sesuatu hal yang pasti dalam demokrasi itu sendiri adalah ketidakpastian.
Apa yang sekarang terjadi di Indonesia adalah kelanjutan dari sebuah dialog yang terhenti hampir empat dasarwasa oleh kekuasaan otoriter. Soeharto membangun rezim ini di atas fondasi Demokrasi Terpimpin yang ditinggalkan pendahulunya, Soekarno. Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin pada 1959 menyebabkan runtuhnya demokrasi parlementer dan menggantikannya dengan sebuah sistem yang tak sedikit pun membatasi lembaga kepresidenan.
Ada beberapa kemiripan yang nyata antara transisi demokrasi Indonesia saat ini dan percobaan selama satu dasawarsa demokrasi liberal pada 1950-an. Ekonomi begitu mudah bergejolak, angkatan bersenjata menjadi kekuatan politik potensial, parlemen dan eksekutif terjebak dalam permainan saling menjatuhkan yang mengakibatkan ketidakstabilan, konstitusi tak cukup jelas dalam menyatakan peran dan hubungan-hubungan antara pemegang kekuasaan dan lembaga-lembaga negara, dan kekacauan-kekacauan regional mengancam kesatuan dasar dari Nusantara.
Tetapi perbedaan-perbedaan antara 1950-an dengan saat ini juga sama nyatanya. Pada 1950, Indonesia adalah negara muda di mana penjajah Belanda baru sedikit menanamkan investasi dalam infrastruktur, dan di mana aktivitas sosial dan ekonomi telah terhentikan oleh perang kemerdekaan yang berkepanjangan. Sebagai perbandingan, krisis ekonomi yang telah memperumit transisi demokrasi Indonesia saat ini adalah yang mengikuti pertumbuhan pesat selama bertahun-tahun, yang telah sangat memperbesar dasar ekonomi negara. Sikap-sikap terhadap salah satu lembaga yang paling berpengaruh, angkatan bersenjata, juga sangat berbeda. Jika pada 1950-an penghargaan masyarakat terhadap militer tinggi karena peranannya dalam perjuangan kemerdekaan, saat ini baik dukungan masyarakat terhadap angkatan bersenjata maupun kepercayaan diri di dalam militer sendiri sangat rendah.
Setidaknya, Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
1.          Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
2.         Periode 1959-1965 Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
Demokrasi Terpimpin Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
3.         Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah
4.        Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan dibangun.

C.    Masyarakat Madani (Civil Society)
Civil Society adalah konsep yang di gulirkan oleh Muhammad AS Hikam. Menurutnya konsep Civil Society yang merupakan konsep warisan-wacana yang berasal dari eropa barat, akan lebih mendekati substansinya jika tetap di sebutkan dengan istilah aslinya[7]. Menurutnya pengertian Civil Society (dengan memegang konsep de ‘Tacquiville) adalah wilayah-wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-suporthing), kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang di ikuti oleh warganya. Dan sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya suatu perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi didalamnya tersirat pentingnya suatu ruang public yang bebas (the free public sphree). Tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
Civil society  juga merupakan konotasi dari “Masyarakat Indonesia Baru” yang kemudian dipopulerkan oleh Nurkholis Majid sebagai “Masyarakat madani”[8] yang merupakan representasi dari konsep masyarakat madinah di zaman Rasulullah Saw. Masyarakat Madani merupakan wujud masyarakat yang memiliki keteraturan hidup dalam suasana kehidupan yang mandiri, berkeadilan sosial, dan sejahtera. Masyarakat madani mencerminkan sifat kemampuan dam kemajuan masyarakat yang tinggi untuk bersikap kritis dan partisipasi dalam menghadapi berbagai persoalan sosial.
Di Indonesia, Tanggal 3-7 November 1998 menjadi momentum istimewa bagi umat islam. Sebuah perhelatan akbar digelar di Jakarta, yakni kongres Umat Islam Indonesia, yang bukan tanpa kebetulan kongres ini diselenggaran oleh MUI menjelang sidang istimewa MPR, 10 November 1998. Masyarakat Indonesia baru atau masyarakat madani (civil society) merupakan cita-dita idela kongres ini. Bahkan menjadi mainstream utama dalam pola pencarian format ideal masyarakat Indonesia di era reformasi ini[9].
Para pakar social modern memberikan pengertian bahwa pemikiran masyarakat madani bertujuan untuk menolak kesewenang-wenangan kekuasaan elit yang mendominasi kekuasaan Negara, dan hal tersebut merupakan salah satu dari manifestasi penanaman demokrasi[10].
Tak terlepas dari pada itu, dapat dilihat bahwa Civil society terbentuk dari kelompok-kelompok kecil dari luar lembaga negara dan lembaga lain yang berorientasi kekuasaan. Sebagai sebuah komunitas, posisi masyarakat madani berada di atas keluarga dan di bawah negara. Jadi, jika diandaikan bahwa kelompok terkecil dalam masyarakat adalah keluarga dan kelompok terbesar adalah negara, maka civil society berada diantara keduanya.
Bentuk masyarakat madani dapat kita perhatikan pada kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat. Organisasi-organisasi seperti organisasi kepemudaan, organisasi perempuan, atau organisasi profesi adalah bentuk nyata masyarakat madani. Di Indonesia organisasi semacam itu sering disebut dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) atau juga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Bentuk sederhana masyarakat madani dapat dilihat antara lain melalui budaya gotong royong yang mencerminkan kemandirian dan partisipasi masyarakat. Budaya masyarakat nyang mandiri dan aktif harus terus kita kembangkan agar terbangun masyarakat madani yang menopang demokrasi.
Organisasi-organisasi sosial berperan penting dalam membentuk masyarakat yang kuat, yaitu masyarakat yang mandiri, memiliki pamahaman yang tinggi akan persoalan sosial, dan turut aktif dalam berbagai aktivitas sosial. Untuk itu perlu dibentuk kesadaran sosial yang tinggi dikalangan masyarakat agar mereka turut serta secara aktif dalam berbagai aktivitas. Hal ini penting mengungat mobilisasi politik (pengerahan massa) oleh pihak lain dengan imbalan tertentu juga dapat mendorong partisipasi politik. Tetapi, partisipasi politik yang didorong oleh mobilisasi biasanya bersifat eksternal, sementara partisipasi yang didasari oleh kasadaran politik menunjukkan adanya kecerdasan publik. Dalam hal ini kesadaran dan partisipasi akan membentuk masyarakat yang kuat dan mampu menentukan arah yang hendak mereka tuju untuk menunjukkan kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera.
Pemahaman tentang civil society dalam perkembangannya menuju kearah pengembangan dan pembangunan masyarakat dengan membangun komunitas yang tidak pecah menjadi sana dan sini secara ekslusif oleh perbedaan pandangan dan kepentingan. Perbedaan justru disadari sebagai pentingnya komunitas warga yang inklusif, toleran, terbuka, beradab, dan berbudaya.

D.   Demokrasi dan Masyarakat Madani (Civil Society)
Masyarakat madani (Civil Society) di Indonesia memang tengah bangkit akibat kebebasan politik yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Namun civil society di Indonesia tidak hanya diwarnai oleh karakter demokratis[11]. Masyarakat madani juga dicirikan dengan masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan[12].
Berbagai pengistilahan tentang wacana masyarakat madani di Indonesia tersebut secara substansial bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan Negara (police of state) yang cenderung memposisikan warga Negara sebagai subjek yang lemah. Untuk itu, maka di perlukan penguatan masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan bargaining masyarakat yang cerdas di hadapan Negara tersebut,dengan komponen pentingnya adalah adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Yang mampu berdiri secara mandiri di hadapan Negara, terdapat ruang public dalam mengemukakan  pendapat, menguatnya posisi kelas menengah dalam komunitas masyarakat, adanya independensi pers sebagai bagian dari social control, membudayakan kerangka hidup yang demokratis, toleran serta memiliki peradaban dan keadaan yang tinggi[13].
Selanjutnya, masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antar  satu dengan lain yang sangat penting artinya bagi bangunan politik demokrasi.
Demokrasi atau demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan perbedaan suku ras dan agama.  Prasayarat demoktastis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji masyarakat madani. Bahkan demokrasi menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai kondisi yang disebut sebagai masyarakat madani.  Penegakan demokrasi dalam hal ini harus dimaknai secara umum yang mencakup berbagai aspek seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya[14].
Selanjutnya, masyarakat madani (civil society) dan demokrasi bagi Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu, demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus. Tatanan nilai-nilai masyarakat tersebut ada dalam masyarakat madani. Karena itu demokrasi membutuhkan tatanan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat madani.
Lebih lanjut menurut Gellner, masyarakat madani (Civil Society) bukan hanya merupakan syarat penting atau prakondisi bagi demokrasi semata, tetapi tantanan nilai dalam masyarakat madani seperti kebebasan dan kemandirian juga merupakan sesuatu yang inheren baik secara internal (dalam hubungan horizontal yaitu hubungan antar sesama warga negara) maupun secara eksternal (dalam hubungan vertikal yaitu hubungan negara dan pemerintahan dengan masyarakat atau sebaliknya). Sebagai perwujudan masyarakat madani secara konkret dibentuk berbagai organisasi-organisasi di luar negara yang disebut dengan nama NGO (Non-Government Organization) yang di Indonesia dikenal dengan nama lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Oleh karena itu, dalam hal ini demokrasi menjadi satu entitas yang menjadi penegak wacan masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga Negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dawam, bahwa hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, - bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Karena hanya dalam masyarakat demokrasi yang kuatlah dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar[15].
Disamping itu, keberadaan masyarakat madani dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai mitra dan partner kerja lembaga eksekutif dan legislatif serta yudikatif juga dapat melakukan kontrol sosial (social control) terhadap pelaksanaan kerja lembaga tersebut. Dengan demikian masyarakat madani menjadi sangat penting keberadaannya dalam mewujudkan demokrasi.
Menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokrasi, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada 6 (enam) konstribusi masyarakat madani terhadap demokrasi[16]. Pertama; menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, budaya dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua; pluralism dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan menjadi dasar yang penting  bagi persaingan demokratis. Ketiga; memperkaya partisipasi politik  dan meningkatkan kesadaran berkewarganegaraan. Keempat; ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima; dapat dijadikan tempat untuk menggembleng pimpinan politik. Keenam;  menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.  Lebih lanjut Diamond menegaskan bahwa betapapun otonomnya, jika ia menginjak-injak prosedur demokrasi sepertitoleransi, kerja sama, saling percaya, tanggung jawab dan keterbukaan, maka organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana demokrasi.


E.  Kesimpulan
Dalam masyarakat madani, warga Negara bekerja sama membangun ikatan social, jaringan produktif dan solidaritas social yang bersifat Non-govermental untuk mencapai kebijakan bersama dalam suatu proses berdemokrasi. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani terletak pada independensinya terhadap Negara (vis a vis the state). Dari sinilah kemudian masyarakat madani dapat dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demoratisasi.
Masyarakat madani kaitannya denga demokrasi juga dapat dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar  warga Negara adengan Negara  atas dasar prinsif saling menghormati. Karena itu, masyarakat madani menginginkan hubungan konsultatif  bukan konfrontatif antara warga Negara dengan  Negara. Sehingga masyarakat madani tidak hanya bersikap dan berprilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga Negara sebagai pemegang hak dan kewajiban bersama.
Dalam konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurkholis majid  tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokrasi. Menurutnya masyarakat madani merupakan “rumah” permsemain demokrasi dengan perlambangan demokrasinya adalah pemilihan umum  yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam pada pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunya “rumah” maka rumah dari demokrasi itu adalah Masyarakat madani. Begitu kuatnya kaitan antara masyarakat madani dengan demokrasi sehingga masyarakat madani dianggap sebagai “obat mujarab” bagi demokrasi atau demokratisasi, terutama di Negara yang praktek demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni Negara. Tidak hanya itu, masyarakat madani juga digunakan sebagai cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi  di berbagai kawasan dan Negara.
Oleh karena itu, perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia hingga saat ini memang memerlukan pengkajian lebih mendalam terhadap aspek-aspek penting dalam penegakan demokrasi yang dalam hal ini adalah dengan menggunakan bingkai Civil Society demi untuk mewujudkan cita-cita demokrasi, sehingga penting untuk kemudian menegaskan bahwa keberadaan masyarakat madani memang menjadi salah satu aspek penting disamping aspek-aspek yang lain dalam mewujudkan demokrasi yang ada di Indonesia, agar kemudian tercapai kesejahtraan dan kebersamaan, atau dengan bahasa lain dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

F.     Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi  Oposisi dan Masyarakat Madani. Bandung: Mizan, 1996
Parera, Frans M. Masyarakat Versus Negara; paradigm baru membatasi dominasi Negara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Rosyada, Dede dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003 .



[1] Dede Rosyada dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003)

[2] Sukidi, dalam Masyarakat Versus Negara; paradigm baru membatasi dominasi Negara, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 1999) hal 3
[3] Ibid. hal
[4] Asyumardi Azra dalam Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003)
[5] Op.cit. hal 236
[6] Malik Fajar, Ibid. hal 240                                                 
[7] Dede Rosyada dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hal 241
[8] Sukidi dalam Masyarakat Versus Negara; paradigm baru membatasi dominasi Negara, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 1999) hal. 236
[9] Ibid. hal 236
[10] Fahmi Huwaydi, Demokrasi  Oposisi dan Masyarakat Madani. (Bandung: Mizan, 1996) hal 296
[11] J.B. Banawiratma, dalam Masyarakat Versus Negara; paradigm baru membatasi dominasi Negara, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999) hal. 33
[12] Ibid. hal
[13] Dede Rosyada dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hal 241
[14] Ibid. hal 248
[15] Ibid. hal 253
[16] Ibid. hal 253

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus