Teori-teori Sosiologi

Minggu, 05 Juni 2011

Gerakan Mahasiswa Indonesia: SuatuTinjauan Hinstoris


Sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia
Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks  zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah  gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya,  benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan  struk¬tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik  merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Meski tidak terlalu menentukan,   gerakan mahasiswa yang muncul diberbagai Negara juga memiliki peran yang sangaat penting dan kompleks dalam mengarahkan perubahan sosial.  Karena telah terbukti bahwa gerakan mahasiswa  juga telah memberikann peran yang penting  terhadap perubahan sosial yang ada di argentina,  Venezuela, Vietnam, jepang, polandia, hungaria, Indonesia dan lain sebagainya.
Munculnya kaum terpelajar di Indonesia
Seiring dibangunnya sekolah-sekolah dasar oleh belanda pada abad ke-18, maka kaum-kaum terpelajar pun mulai bermunculan di Indonesia, meskipun pada awalnya hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengakses pendidikan yang di bangun oleh belanda tersebut . namun selama perkembangannya, mulai awal abad ke-19 mulai juga didirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh orang pribumi, yaitu oleh R.A. kartini pada tahun 1903. Kemudian Boedi Utomo, kemudian pada tahun pada tahun 1922 didirikan Taman Siswa o,eh Ki Hajar Dewantara dan seterusnya.
Gerakan mahasiswa Pra-Kemerdekaan
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota. Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925. Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa).  Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Boedi utomo semakin melemah karena terjerembab masuk dalam kerangka politik etis[1]. Terlebih lagi dengan pendukung Boedi Utomo pada saat itu cenderung memajukan pendidikan hanya untuk kaum priyayi di bandingkan golongan pribumi. Bahkan hingga slogan boedi utomo pun ikut berubah dari  “perjuangan untuk mempertahankan penghidupan“  menjadi  “kemajuan secara serasi”[2].
Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeninging, dan lain-lain pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Ir. Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928.
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Praktis, akibat kondisi yang vakum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Gerakan mahasisawa pasca kemerdekaan
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda   dan  pelajar:  selain melucuti  senjata Jepang,   juga memunculkan   organisasi-organisasi  seperti:   Angkatan   Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan  Pemuda Republik  Indonesia  (GERPRI),  Ikatan  Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada  saat  belum ada organisasi pemuda  dan pelajar,  yang berbentuk   federasi,  diselenggarakan  Kongres  Pemuda seluruh Indonesia  I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Setelah kemerdekaan berusia sekitar satu bulan, tidak semua warga Indonesia mengetahui bahwa Indonesian telah benar-benar merdeka. Ini dikarnakan tentara-tentara jepang masih menduduki gedung-gedung pemerintaha, bendera hinomaru juga masih berkibar, polisi-polisi jepang juga masih menghantui  kehidupan rakyat Jakarta[3]. Namun demikian, pada masa-masa itu kondisi Jakarta masih telihat tenang. Berbeda dengan kondisi di daerah lain sehingga mengundang kekecewaan para pemuda terutam  mereka yang sudah  berusaha agar kemerdekaan di proklamirkan. Ditambah lagi dengan sekutu  yang akan segera mendarat di Indonesia yang semakin mempercemas keadaan pemuda pada saat itu. Pada akhirnya para pemuda mengagendakan rapat umum  raksasa untuk  memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia agar seluruh rakyat Indonesia dan dunia mengetahui kemerdekaan Indonesia terutama para sekutu.  Salah satu prastasi luar biasa yang dihasilkan oleh pemuda dan mahasiswa adalah Rapat IKADA, karena setelah itu kemerdekaan Indonesia diketahui oleh seluruh dunia.
Pasca kemerdekaan, selain banyak bernuculan organisasi mahasiswa dengan basis ideologi yang berbeda-beda (HMI, GMKI, PMKRI, CGMI dls) juga banyak yang berdasarkan profesi dan komunitas (PMKH, PMD, PMJ, dls) yang juga ikut memberikan andil pada perubahan sosial yang terjadi pasca kemerdekaan.
Periode   Demokrasi   Liberal   1950-1959 ternyata   tidak memberikan   pendidikan  politik  yang berarti  bagi mahasiwa. Pertemuan  Majelis Permusyawaratan  Mahasiswa (MPM)  dalam  bulan Desember   1955   di  Bogor PPMI memutuskan   untuk menarik keanggotaannya   dari FPI. Dengan  demikian jelaslah   bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat  memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru  melumpuhkan  akstivitas   politik mereka.  Kemudian  membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik"  dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih  aktiv  dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan  Pemilu  1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat  momentumnnya. Pada saat  itu  berdiri organisasi mahasiswa   yang berafiliasi ke  partai,  seperti  Gerakan  Mahasiswa   Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam   (HMI)  dengan Masyumi,  Concentrasi  Gerakan   Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada  tanggal  28 Februari 1957,  aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari   berbagai  universitas  dan berhasil  membentuk   federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara  itu  peran militer dalam negara  terus mengalami perluasan  sejak akhir 1950-an.
Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula  dari penandatanga nan  kerja sama antara pemuda dan Angkatan  Darat  17 Juni  1957.  Eskponen  gerakan  sosialis dan HMI  diikut sertakan  dalam aktivitas-ak stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan  hubungan dengan administratur-administratur  militer yang  berkaitan  dengan urusan pemuda  dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada  tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah  yang  paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno.  Sementara   itu  Gerakan  Pemuda  Islam Indonesia   (GPII) dibubarkan   dengan tuduhan  terlibat usaha pembunuhan   atas Soekarno.  GMNI,  CGMI  dan  GERMINDO  kemudian membentuk  Biro   Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta  Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI  berhasil  masuk  ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam  tahun  1961,  organisasi-organisasi lokal tersebut   membentuk  Sekretariat  Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI  agar jangan  terlalu  terlibat  dalam isu politik.  Orang  akan dapat membaca  dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa  yang tergabung dengan MMI.
Gerakan-gerakan mahasiswa pada era 60-an turur memberikan andil dalam menjatuhkan rezim orde lama. Dimana pada saat itu, gerakan mahasiswa ikut bergabung dengan angkatan darat dalam tuntutannya untuk menjatuhkan rezim orde lama yang di pimpin oleh Ir. Sokarno dengan isu Trikora, PKI, Korupsi, kemudian Dwikora ditambah lagi dengan aksi mogok kuliah yang dilakukan oleh  aktifis gerakan mahasiswa pada waktu itu, aksi demontrasi dls.
Namun demikian, aksi-aksi  mahasiswa yang bergabung dengan tentara untuk menjatuhkan rezim orde lama juga telah memberikan andil yang besar terhadap berkuasanya rezim orde baru dan masuknya kapitaslisme ke Indonesia yang kemudian menyengsarakan bangsa Indonesia.
Gerakan Mahasiswa Pada Era Orde Baru
Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah  mulai membaik  dalam  mengugat hubungan  sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme,  dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh  kesiapan militer  (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan  partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum  tahun  1970-an aktivis yang  mula-mula sadar  akan kekeliruan  ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib  (HMI).
 Namun seperti  juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan  pemuda tahun  70-an  lainnya yang mulai  menyadari  kekeliruan  strategi mereka  kembali membuat kesalahan strategi lainnya:  terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan  massa yang  luas,  demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari;  dan gerakan   '78  dengan  Buku  Putihnya merupakan   contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapatdilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri. Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. Pada  tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan  ada juga  sedikit  yang  struktural terutama yang  di  Barat, serta belajar  keluar  negeri  merupakan suatu  kondisi  objektif  yang ditawarkan  oleh kapitalisme yang  sedang  berada  pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas  yang rendah  (terutama produk yang  mempunyai  watak nasionalistis), kemiskinan, gap   antara   kaya   dan   miskin, pengangguran, konsumerisme,   kesenjangan   harga   dan pendapatan, krisis kepemimpinan,   rendahnya kuantitas  dan   kualitas pendidikan politik,  kosongnya  dunia pendidikan, keilmuan dan  budaya  yang nasionalistis  dan  pro-rakyat, perusakan lingkungan,  dekadensi moral,  dan  sebagainya,  yang belum  pernah terjadi  sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.  Kondisi  popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan  kesimpu lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia)  yang dipasok dari luar negeri (terutama  dari  Barat) menyuburkan  budaya diskusi, penelitian masyarakat dan  aksi-aksi sosial  kedermawanan dan  peningkatan  pendapatan.  BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis¬wa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan  picu  bagi tindakan  politik, proses pembusukkannya lebih  lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan  keuangan  yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis  sosial (bahkan  mahasiswa)  yang  diserap  kedalamnya, menyebabkan  LSM bertahan dalam wataknya semula.

2 komentar: