Teori-teori Sosiologi

Minggu, 05 Juni 2011

Gender dan islam


Latar belakang
                 Saat ini gender masih menjadi isu sentral yang kerap dibicarakan. Kekeliruan dalam memahami dan mengartikan istilah gender masih sering terjadi. Dalam bahasa Inggris, kata gender diartikan sebagai "jenis kelamin", atau sinonim dengan kata sex. Untuk konsep yang lebih luas, gender diartikan sebagai "gender is a basis for beginning the different contributions that man and woman make to culture and collective life by distinction which they are as man and woman." Sebagaimana isu-isu lainnya seperti Demokrasi, HAM, Civil Society, Gender termasuk isu baru dan diperkirakan menjadi discourse di Indonesia barulah pada pertengahan tahun 1990-an.
                 Sedangkan kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia. Kesetaraan gender meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
                 Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses dan kesempatan berpartisispasi.
                 Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan yang cukup untuk berkiprah dalam kehidupan sosial bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena masih lekatnya ketidakadilan gender dalam masyarakat yang terjemahkan dalam marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang bersifat menyepelekan (tidak penting) kepada kaum perempuan, bahkan kekerasan (violence) termasuk dalam hal bekerja atau justru beban kerja yang lebih panjang atau lebih banyak (double burden). Bentuk ketidakadilan gender ini tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling terkait dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satu pun bentuk ketidakadilan gender yang lebih penting dan lebih esensial dari ketidakadilan yang lain.
                 Begitu juga dalam bidang keagamaan, khususnya masyakarat Islam. Fenomena ketidakadilan gender dalam Islam ternyata lebih menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Boleh jadi hal ini merupakan akibat dari pola budaya dan sistem masyarakat muslim yang mayoritas bercorak patrialkal, struktural dan subordinatif. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah masyarakat muslim. Sempitnya ruang gerak bagi kaum perempuan muslim terjadi justru setelah Islam mengalami perkembangan pesat dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dalam masyarakat muslim Arab pra-Islam dan Islam masa awal, kaum perempuan pada umumnya dapat beraktualisasi secara bebas. Namun, kemudian terjadi pergeseran pandangan terhadap perempuan diantaranya karena interaksi budaya, kepentingan politik dan ekonomi serta interpretasi atau penafsiran terhadap teks-teks al-Qur’an.
Konsep Gender  
                 Istilah gender  dikemukakan  oleh  para ilmuwan sosial  untuk  mejelaskan  mana  perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan  dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari,  dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita sering  sekali  mencampuradukan  ciri-ciri  manusia  yang  bersifat  kodrati  dan  tidak  berubah  dengan  yang  bersifat  non  kodrat  (gender)  yang  sebenarnya  bisa  berubah atau diubah. 
                 Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali  tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia  perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu  yang  tidak tetap, tidak permanen, akan memudahkan  kita  untuk  membangun  gambaran  tentang  realitas  relasi  perempuan  dan  laki-laki  yang  dinamis,  yang  lebih cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. 
                 Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara kata gender dengan  kata sex. Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis,  yang  secara  fisik  melekat  pada  masing-masing  jenis  kelamin,  laki-laki  dan  perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan,  sehingga  sifatnya  permanent  atau  universal.  Jenis  kelamin  atau  sex  adalah  adalah  karakteristik  biologis  hormonal  dan anatomis.  Sex  tidak  bias  berubah,  permanent  dan  tidak  bias  dipertukarkan  karena  bersifat  mutlak.  Sedangkan  gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal persifatan,  peran,  fungsi,  hak,  perilaku  yang  dibentuk  oleh  masyarakat.  Karenanya  ia  bersifat  relative,  dapat  berubah,  dan dapat dipertukarkan.  Perubahan ciri dan  sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. 
                 Dua hal pokok perlu diperhatikan dalam memahami konsep gender saat ini, yaitu  ketidak-adilan  dan  diskriminasi  gender di  satu  pihak,  dan kesetaraan  serta kekeadilan gender di pihak lain.   
Agama, Gender dan Konstruksi Sosial
                 Apabila gender dipahami sebagai konstruksi sosial, maka agama dipandang sebagai salah satu institusi yang membentuk pandangan yang streotif terhadap perempuan. Dalam hal ini, Islam dituduh sebagai agama yang paling tidak adil memperlakukan perempuan.
                 Pandangan-pandangan yang bias gender telah mengakar dalam wacana dan praktek keberagamaan dengan atau tanpa legitimasi ajaran agama, akan menjadi lebih sulit untuk dibongkar atau didekonstruksi jika peran-peran dari tiap elemen masyarakat terutama kyai sebagai tokoh agama tidak diperhitungkan.
                 Dalam konsep Islam, terutama merujuk kepada al-Qur’an, konsep keseteraan gender mengisyaratkan 2 (dua) pengertian. Pertama, al-Qur’an mengakui martabat pria dan wanita dalam kesejajaran tanpa membedakan jenis kelamin. Kedua, pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sejajar disegala bidang. akan tetapi pandangan inferior bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah juga disosialisasikan atas nama agama.
                 Memahami ajaran agama melalui penafsiran al-Qur’an sebagaimana yang ditafsirkan ulama salaf tidak sepenuhnya benar. Artinya kondisi sosial masyarakat tidak lagi seperti pada masa dulu. Bukan saja karena al-Qur’an harus diyakini berdialog dengan setiap generasi, namun juga harus dipelajari dan dipikirkan. Sementara hasil pemikiran (termasuk penafsiran) selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kondisi pengalaman, ilmu pengetahuan, latar belakang pendidikan yang berbeda dari satu generasi ke generasi lainnya, bahkan antara pemikir satu dan pemikir lainnya pada suatu generasi.
                 Lebih lanjut para tokoh feminis muslim juga melakukan kritik terhadap interpretasi teks-teks suci yang diputarbalikkan sedemikian rupa sehingga berakibat munculnya kehidupan yang eksploitatif dan diskriminatif terhadap perempuan. Kritik tersebut terutama ditujukan terhadap tafsiran fikih Islam yang memposisikan wanita pada posisi yang subordinat.
                 Fenomena yang terjadi dalam masyarakat dengan adanya perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang diterima kaum perempuan, dan didalihkan sebagai bagian dari ketentuan agama, yaitu tuntutan syariat Islam, adalah sama sekali tidak beralasan dan tidak sesuai dengan tujuan datangnya Islam yang justru ingin membebaskan perempuan dari belenggu yang telah lama menjerat leher mereka. Islam membela hak-hak perempuan dan memperbaiki kedudukan mereka.
                 Islam mengurangi pebedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan serta mengakui kebebasan status mereka. Jika dikai lebih jauh berdasarkan beberapa konstruksi social yang muncul pada kalangan umat Islam sendiri yang kemudian mengakibatkah lahirnya anggapan bahwa Islam adalah agam yang bias gender tekadang tanpa melalui suatu proses pemahaman terhadap apa yang menjadi landasan konstruksi itu sendiri. Bahkan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang terkadang tidak mengetahui mana teks-teks yang ada dalam Al-Qur’an yang berperan sebagai ayat teologis dan ayat sosiologis. Karena perbedaan ayat tersebut jelas memberikan pandangan yang berbeda tehadap penafsiran yang muncul kemudian, sehingga untuk menyikapi isu-isu gender yang seakan menganggap bahwa Islam mempelopori hal tersebut perlu diadakan sebuah penjelasan terkait pemahaman-pemahaman keagamaan yang muncul belakangan ini yang pada dasarnya lebih pada konstruksi berdasarkan kultur social yang ada, bukan hasil dari interpretasi teks agama.

Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender dalam Islam
                 Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Agama Islam, sebagaimana agama-agama samawi yang lain, Yahudi dan Nasrani diyakini membawa gagasan pembebasan, kemaslahatan, dan keadilan bagi kehidupan manusia. Akan tetapi pada kenyataannya justru tafsir keagamaan atasnya dipandang lebih melahirkan ketidakadilan atau ketimpangan pola hubungan gender. Bahkan bahasa-bahasa yang digunakan maupun tafsir atas kitab suci tidak terlepas dari bias-bias ketimpangan gender, seperti atribusi maskulinitas bagi Tuhan.
                 Ada beberapa variable yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur'an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut :
• Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Zariyat:56.

                
                 Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Ukuran yang dinilai Allah dalam menilai hambanya adalah kadar ketaqwaannya.
                 Maksud dan tujuanpenciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping untuk menjadi hamba ('abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT, juga untuk menjadi khalifah di muka bumi (khalifah fil Ardl). Kapasitas manusia sebagai khalifah ditegaskan dalam alqur'an QS. Al-Baqarah:30.

                
                 Kata khalifah dalam ayat di atas jelas tidak merujuk pada nabi Adam saja, sebagaimana disepakati mufssirin, juga tidak merujuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu, tetapi merujuk pada seluruh keturunan Adam. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifaannya.
• Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial
                 Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-A'raf:172. yang artinya;
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Alah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (Seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?". Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi ".
Beberapa variable diatas hanya sebagaian kecil saja, masih bnayak lagi variable lain yang mungkin digunakan dalam melihat bahwa sesunggunhnya Islam bukan lah agama yang bias gender.
                 Terlepas dari pada itu, Laki-laki dan perempuan memiliki hubungan koopratif bukan kompetitif Kebanyakan orang menafsirkan konteks ayat tertentu dari berbagai persepektif tanpa melihat konteks social pada saat ayat tersebut diturunkan sehingga mereka sulit membedakan antara persoalan teologis atau sosiologis, sehingga penafsirannya pun terkadang bias gender.
Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama
                 Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat didalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.
                 Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah :
1. Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
2. Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
                 Bias gender yang mengakibatkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam terkait pula dengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira ah, Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan Arti Huruf Atof, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab-kitab Fikih.
                 Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena Qur an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90); keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.
Kesimpulan
                 Dari paparan di atas kiranya bisa ditarik kesimpulan, bahwa al-Qur'an sungguh mengandung ajaran ideal yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, bahwa Islam beberapa langkah lebih sempurna dalam ajaran gender dibanding dengan dua agama samawi lainnya, Yahudi dan Nasrani. Islam telah mengajarkan persamaan dan keadilan gender. Tetapi karena system budaya patriarki yang begitu mengakar, didukung oleh pemahaman yang 'kurang pas' terhadap ayat-ayat perempuan atau laki-laki, serta adanya hadits-hadits yang cenderung memarginalkan perempuan—yang sampai sekarang perempuan tetap berada pada posisi yang kurang menguntungkan.
                 Sejak 15 tahun yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam mem memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsif kesetaraan dan keadilan tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Dalam ajaran Islam tidak dikenal dengan adanya isu gender yang berdampak pmerugikan perempuan, hanya saja yang berkembang kemudian banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsitkan bias geder karena kurangnya pengetahuan sang penafsir tehadap teks yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri seperti aspek bahasa yang digunakan, asal-usul turunnya ayat tersebut dan lain sebagainya.  Jika di telusuri konteks historisitasnya, Islam bahkan menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat dan martabat yang sama setara dengan laki-laki.
                 Islam memperkenalkan relasi gender yang mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an subtantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah. Adalah suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang tidak memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan,dikaitkan dengan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat  dari salahnya pemahaman terhadap apa yang disebut dengan qodrat adalah melekatnya makna bias gender dalam agama. Banyak yang meletakkan fongsi reproduksi untuk mempertahankan domestikasi, subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi kepada perempuan.
                 Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan sunnahnya tentu saja menolak angapan bahwa Islam bias gender. Islam dating untuk membebaskan manusian dari berbagai bentuk ketidakadilan karena sejak awal di promosilkan, Islam adalah agama pembebasan. Dalam pandangan Islam manusia mempunyai dua kapasitas yaitu sebagai hamba dan juga sebagai representasi tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin.
Sumber Bacaan
Al-Qur’an dan terjemahannya
Bahsin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1993 Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia.
Isymawi, Muhammad Zaki. 1984. Qadhaya al-Naqd al-Adabi Baina al-Qadim wa al-hadis. Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyya.
Ibnu Katsir, 1981. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir. Beirut:Dar al-Fikr
Shihab,Quraish. 1997. Membumikan al-Qur'an. Bandung: Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar