Pendahuluan
Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah diakui keberadaannya oleh negara dan dilegitimsi oleh badan hukum yang mengaturnya, namun kemudian kehadiran sebuah keluarga tidak terlepas dari berbagai masalah di dalamnya. Problematika yang dihadapi pun senantiasa aktual dan dinamis karena situasi dan kondisi setiap keluarga yang satu dengan yang lain selalu berbeda. Problematika yang lahir dari kehidupan rumah tangga banyak yang menjurus kepada tindakan-tindakan kekerasan. Tindakan tersebut sebagian besar dialami oleh kalangan wanita dalam hal ini adalah istri. Tindakan kekerasan terhadap istri merupakan masalah sosial yang serius tetapi kurang mendapatkan tanggapan yang memadai. Mereka menganggap bahwa persoalan rumah tangga merupakan persoalan domestik (privat) yang bersifat tertutup, sehingga ada keengganan masyarakat untuk membicarakan persoalan pribadi ke dalam wacana luar karena adanya nilai-nilai yang mengabsahkannya terlebih oleh agama.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Kekerasan seksual merupakan “segala kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan seksualitas.”Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakanseksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan seksual. Tindak kekerasan seksual pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger, perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri yang pada akhirnya kerapkali melahirkan tindakan kekerasan dalam ruang lingkup domestic tersebut dimana dalam hal ini pihak istri selalu berada dalam kondisi yang dirugikan, misalnya dalam hal seksual yang di kenal dengan istilah Marital Rape.
Marital Rape
Marital Rape merupakan tindak kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, yaitu tindak kekerasan seksual suami terhadap istri. Bentuk kekerasan yang dijadikan batasan pembahasan ini adalah hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri, baik fisik atau psikis karena mungkin istri dalam kondisi yang lelah ataupun yang lainnya sehingga mengakibatkan sakit pada istri. Hal seperti ini yang merupakan pemaksaan karena hanya satu pihak yang merasakan kenikmatannya. Adanya tindakan Marital Rape ini menjadikan terlintasnya pemikiran akan hal yang mendasar dari tindakan tersebut, yaitu alasan-alasan apa yang menyebabkan para suami melakukan tindakan Marital Rape atau dapat dirumuskan dengan mengapa kasus-kasus Marital Rape sering terjadi di Indonesia dan bagaimana nash serta konsep fiqh konvensional menyikapi tindakan tersebut dalam kehidupan berumah tangga.
Mave Cormack dan Stathern menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga juga dapat ditinjau dari teori Nature and Culture, dimana dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature), yaitu secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structur yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Dalam ruang lingkup keluarga, sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan seksual yang dihadapi atau diterimanya, terlebih dalam hal kekerasan seksual. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik bahkan hukum sekalipun.
Hal tersebut diperparah dengan munculnya anggapan bahwa campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) dengan berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Ini mkemudian ditegaskan oleh Murray A. Strause, bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Jika dilihat lebih lanjut, bahwa kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan seksual terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat, dimana dalam ini ialah sang suami.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.
Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih sedikit. Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.
Penutup
Tindak kekerasan seksual terhadap istri dalam rumah tangga atau Marital Rape terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.
Dari sini dapat diketahui bahwa Karena pola pikir masyarakat yang masih tradisional, yang kental dengan kepatriarkhiannya, sehingga terbentuklah masyarakat yang masih menganggap bahwa hubungan seksual merupakan kewajiban istri sepenuhnya tanpa melihat prinsip yang terkandung dalam kehidupan berumahtangga yaitu terwujudnya prinsip mu'asyarah bi al-ma'ruf. Meskipun hal tersebut merupakan kewajiban istri tapi masih perlu adanya komunikasi antar keduanya agar tidak terjadi tindakan suami istri yang tidak diinginkannya. Sehingga mengakibatkan adanya pemaksaan secara sepihak yang menjadikan tindakan Marital Rape terjadi di Indonesia.
Daftar Bacaan
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep. Kes. RI
Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Ameepro.
Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^
Classical weapons and armor were added to the 6.05 patch of Final Fantasy XIV Endwalker. These are carefully crafted suits, players can Buy FFXIV Gil at IGGM, so as to obtain them.
BalasHapus