Bagian dari tanggung jawab negara yang terpenting adalah pendidikan. Dalam istilah Lenin, kalau mau perubahan mulailah dari pendidikan. Castro dan Guevara mendirikan pendidikan gratis untuk menuntaskan revolusi Kuba. Kemudian sejak di bawah Khomeini memulai pendidikan gratis untuk semua sekolah milik pemerintah. Dimanapun negara, tampaknya soal pendidikan jadi urusan paling vital. Tak terkecuali di Indonesia. Sejak Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, Muhammadyah membuat sekolah: pendidikan telah jadi bagian perjuangan pembebasan melawan kolonial. Bagi negara membuat pendidikan yang bisa dijangkau adalah salah satu mandatnya. Karena negara punya tugas wajib untuk mencerdaskan rakyatnya.
Untuk menunaikan tugas negara itulah maka semua sistem negara dikerahkan untuk ‘menyelenggarakan’ pendidikan. Diantara yang terpenting adalah kebijakan. Sejumlah produk perundangundangan menjadi pengantar bagi dunia pendidikan. Amanat 20% tentang alokasi budget memberi petunjuk tertulis akan ‘komitmen’ negara. Begitu juga pemberlakuan UN yang menambang kritik dan pujian. Melalui perantaraan fungsi legislasi, negara menyusun dasar-dasar pendidikan. Peran legislasi inilah yang kerapkali memunculkan masalah. Terlebih sekarang ini negara tidak berperan utama dan terdepan dalam pendidikan.
Pada UU Pendidikan Nasional pendidikan adalah tanggung jawab ‘negara dan masyarakat’. Istilah masyarakat ini sedikit kabur. Tafsir yang kemudian berkembang menjadi ‘kepentingan ekonomi pendidikan’. Ada yang bilang, masyarakat adalah orang tua peserta didik. Ada yang katakan mereka itu kaum swasta. Jika tafsir masyarakat itu adalah kelompok bisnis tentu pendidikan akan dikenai hukum pasar. Walau ini mencemaskan. Tapi kenyataanya dunia pendidikan, banyak dikritik mengalami, ‘cedera sosial’. Keadaan yang membuat fungsi sosial pendidikan kemudian roboh. Padahal pendidikan adalah kewajiban negara. Hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak dasar semua warga. Lebih-lebih di negeri yang angka buta hurufnya menakjubkan. Terutama negeri yang masih dipenuhi wabah. Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama dengan pendidikan seseorang merubah nasibnya. Pendidikan juga sebaiknya melatih kemampuan solidaritas dan kepekaan. Karena dampak sosial yang besar itulah, pendidikan memiliki peran penting. Hanya tak selamanya pendidikan diurus secara baik. Berbagai kasus suram yang menimpa pendidikan memberi petunjuk negatif. Tingginya angka putus sekolah membuat pendidikan jauh dari akses mereka yang tak mampu.
Pembahasan
· Pendidikan sebagai alat
Dana pendidikan yang rendah dan budaya korupsi membawa rumit persoalan pendidikan. Dengan dukungan pendanaan rendah maka yang menjadi korban pertama adalah kualitas infrastruktur sekolah. Sejumlah gedung sekolah, terutama SD mengalami kondisi fisik yang memprihatinkan. Dibanding dengan daya tahan bangunan sekolah kolonial, bangunan pendidikan sekarang jauh tak bermutu. Itu sebabnya dana bantuan banyak digunakan untuk pembangunan fisik sekolah. Alokasi dana untuk pembangunan fisik yang besar, menurut Darmaningtyas punya dua makna: pertama memang memberi petunjuk buruknya bangunan sekolah dasar dan kedua sebagai cara untuk membagi proyek dimana kontraktornya kebanyakan kerabat pegawai pendidikan. Proyek inilah yang membuat pengelolaan pendidikan rawan korupsi. Hampir dalam setiap jaring pendidikan gejala pemborosan dana terjadi. Pengadaan buku misalnya, telah menyeret banyak aparat dinas pendidikan ke meja peradilan. Begitu pula dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang dikeluhkan banyak orang tua karena memakan biaya tidak sedikit. Apalagi ‘tanda kelulusan’ sangat menentukan nilai jual sebuah sekolah, sehingga tiap sekolah berlomba-lomba untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan siswanya. Dan untuk ini semua tentu butuh-lagi-lagi-biaya. Dengan dalih keterbatasan anggaran itulah banyak sekolah kemudian memeras siswa. Beban pungutan ini berjalan dengan buas karena memang tak ada aturan yang mengendalikan wewenang sekolah menarik biaya. Dalih yang selalu diajukan adalah demi pencerdasan dan peningkatan kemampuan siswa. Bahkan di beberapa sekolah penarikan biaya ini tanpa melalui persetujuan orang tua maupun kalangan yang terkait lebih dulu.
Di beberapa lembaga pendidikan tak standar baku berapa besar biaya normal dapat diterapkan. Akibatnya pendidikan menjadi lembaga yang mahal. pembiayaan yang dipungut oleh lembaga pendidikan tiap tahun ajaran baru, yang tentunya sangat memberatkan pada kalangan yang tak mampu. Hal ini sesuai dengan laporan Balitbang Depdiknas yang menyatakan, bahwa hingga kini masyarakat masih menanggung 53,74-73,87 persen total biaya pendidikan, termasuk penyelenggaraan sekolah swasta. Sementara pemerintah hanya menanggung biaya pendidikan sekitar 26,13 sampai 42,26% dari keseluruhan biaya pendidikan. Ini artinya, ikhtiar pemerintah untuk membuat program wajib belajar jadi sia-sia. Apalagi gagasan wajib belajar yang ditetapkan pemerintah sangat berbeda dengan wajib belajar yang secara normal diterapkan di beberapa negara maju. Perbedaanya menyangkut tentang kemampuan dan kewenangan negara untuk melakukan pemaksaan. Sebuah perbedaan yang membuat kita percaya akan gagalnya negara menyekolahkan rakyatnya.
Genangan masalah yang membanjir itulah membuat pendidikan jadi urusan yang tak sederhana. Pelanggaran atas hak-hak pendidikan membawa pengaruh atas pemenuhan hak-hak yang lain. Pelanggaran atas hak pendidikan akan membawa akibat panjang. Dengan tingkat buta huruf yang tinggi maka kualitas sumber daya manusia tentu rendah. Dengan banyaknya bangunan sekolah yang rusak pasti membawa dampak pada kualitas pembelajaran. Juga alokasi budget yang rendah akan membuat beban pembiayaan pendidikan terus-terusan ditanggung oleh masyarakat.
Negara yang ditunjuk sebagai pengemban tugas pencerdasan mulai tak mampu berperan. Kini negara hanya memasrahkan pendidikan pada arena pasar sosial yang buas. Pasar identik dengan wilayah dimana hukum jual belilah yang berlaku. Melalui perantaraan pasar maka tangan-tangan sosial negara digantikan oleh ‘daya beli dan kemampuan menjual’. Negara diam-diam dikarantina oleh kepentingan ekonomi yang berburu laba. Pendidikan tak lebih berfungsi sebagai alat produksi bahkan komoditi yang memuaskan kepentingan konsumen, bukan rakyat.
Pada ranah ini tanpak jelas bagaimana peran negara saat ini dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan yang di fungsionalkan menjadi rentetan permasalahan yang tak terselesaikan sampai hari ini. Pendidikan di anggap sebagai salah satu pasar yang bisa memberi keuntungan yang sangat besar sehingga bisa menunjang perekonomian yang ada, padahal dunia yang pada saat ini sudah memasuki era globalisasi mengakibatkan kaburnya batasa-batasan kepentingan pendidikan dan kepentingan pasar sehingga kemudian sangaat mudah sekali mengklaim sebuah program atau kebijakan dengan dalih untuk kemajuan bangsa tetapi di belakang itu cengkraman kaptalisme mengikutinya.
Penutup
Masyarakat memang tak pernah diam melihat persoalan pendidikan. Inisiatif perubahan sudah dilakukan oleh banyak kalangan. Hak semua warga untuk mendapat pendidikan diwujudkan melalui ide sekolah gratis.
Di beberapa tempat kini kebijakan mengenai itu mulai bermunculan. Inisiatif beberapa orang atau kelompok tentang sekolah murah juga mulai menjamur. Tentu gagasan ini sebaiknya mendapat dukungan. Pemerintah juga diharapkan menempuh berbagai cara untuk terus memperluas dan mempermudah akses orang miskin untuk bisa sekolah. Memperluas dengan lebih banyak dibangun sekolah bermutu di daerah-daerah terpencil. Bukan tambah mengganti lahan sekolah untuk dijadikan tempat bisnis. Tidak malah berusaha menggabungkan sekolah yang tak bisa meraih siswa.
Depdiknas sebaiknya memberikan pendampingan dan memfasilitasi kebutuhan sekolah di daerah-daerah terpencil. Mempermudah dengan membuat layanan yang tidak berbelit-belit dan memberi aturan standar pembiayaan. Aturan yang membuat sekolah bisa terkontrol dalam penarikan biaya. Di Yogyakarta, sejumlah pemerhati pendidikan bahkan membuat semacam panduan untuk orang tua peserta didik ketika berhadapan dengan sekolah. Bekal yang akan membuat orang tua tidak terlampau ‘ditekan’ pembiayaan karena awam informasi.
Referensi :
Darmaningtyas, 2004, Pendidikan yang Memiskinkan, Galang Press: Yogyakarta
Darmaningtyas, 2004, Pendidikan Rusak-Rusakan, LkiS: Yogyakarta
Eko Prasetyo, 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah, Resist Book
I Wibowo (pengantar), 2001, Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras,
Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar