Teori-teori Sosiologi

Minggu, 05 Juni 2011

Qurban Sebagai Refleksi Sosial


Setiap kali tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Sudah pasti, gema takbir dan tahmid membahana di seluruh pelosok menyambut kedatangan hari yang penuh pesan kemanusiaan ini. Kendati arus mudik tidak akan seramai di hari raya Idul Fitri, namun tetap saja 10 Dzulhijjah ialah hari yang sangat berarti untuk kaum Muslim seluruh dunia. Pesan solidaritas kemanusiaan Idul Adha dengan tegas diwujudkan dalam bentuk ibadah qurban. Anjuran berqurban (menyembelih hewan) kepada yang mampu melaksanakannya menunjukkan betapa Islam sangat mementingkan nasib fakir-miskin (dhu'afa). Pada Hari Raya Idul Adha, dengan penyembelihan hewan qurban (udlhiyah), tidak ada seorang pun manusia yang harus merasakan kelaparan dan kemiskinan.
            "Qurban", secara etimologi berarti "pendekatan", yang mengandung arti bahwa upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan jalan mempersembahkan harta dijalan-Nya untuk kepentingan umat manusia. Qurban berasal dari bahasa Arab yang bermakna qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah. Qurban atau kurban, adalah bekerja keras dengan segala kemampuan yang ada serta mengalahkan dominasi egoisme termasuk ego kepemilikan harta, untuk meningkatkan kualitas hidup agar seseorang menjadi dekat kepada Tuhan.
            Ibadah qurban yang kita laksanakan sebenarnya hanyalah sebuah simbol ketakwaan. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Hajj [22]:37). Ini menunjukkan, hewan qurban yang kita sembelih, diharapkan agar membantu sesama berdasarkan semangat ketakwaan, keikhlasan, tanpa pamrih dan tidak  riya.



Pembahasan
            Membangun solidaritas kemanusiaan bukan hanya tertuju pada sesama muslim saja, tetapi kepada seluruh manusia tanpa terikat perbedaan agama, etnis, ras, atau suku. Sebab, Islam di awal pertumbuhannya, menentang perbudakan yang saat itu dianggap sebagai kelaziman. Karena itulah, kelompok yang memusuhi Muhammad Saw. dan umat Islam masa itu adalah pemilik budak dan pengusaha yang memonopoli kekayaan, sebab mereka merasa terganggu. Gerakan Islam saat itu mengancam tatanan sosial-politik yang menguntungkan mereka (kaum tiran) karena bertujuan menggugat despotisme, seperti halnya Ibrahim a.s menentang despotisme Namrud.
            Nabi Ibrahim a.s membongkar mitos "penguasa tiran dan despotis" pada diri Namrud dengan menghancurkan berhala-berhala. Begitu juga Nabi Musa a.s, berjuang membebaskan bangsa Yahudi dari penindasan Fir'aun. Maka, memahami dan mengembangkan ritualitas agama, tidak boleh melepaskan diri dari problem kemanusiaan. Kita harus menyadari bahwa agama (Islam) lahir dalam alam historisitas kemanusiaan yang praksis, sehingga orientasi akhir ritual agama adalah kemaslahatan manusia.
            Hari raya Idul Adha dan peristiwa qurban, tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan total Nabi Ibrahim a.s kepada Tuhan. Ibadah qurban memiliki makna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan sang tiran yang despotis lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, berarti pesan-Nya ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dengan mengangkat harkat-derajat kemanusiaan dari laku tiran dan menindas, sebagai tanda dari penghargaan atas eksistensi manusia dan kemanusiaan.
            Pemuka orang-orang Mekkah masa dulu, terdiri dari orang-orang kaya, sehingga pemerintahannya lebih tepat dinamai dengan plutokrasi (pemerintahan oleh orang-orang kaya), dimana mereka tidak memedulikan realitas masyarakat Mekkah yang miskin. Maka, pada posisi itulah, Al-Quran berfungsi untuk melakukan kritik terhadap penyimpangan sosial yang dilakukan orang-orang kaya di Mekkah. Seperti yang terkandung dalam Surah Al-Fajr [89], ayat 17-20, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur-baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan."
Penutup
            Tauhid dan Semangat pembebasan Kita tidak dibenarkan mengorbankan manusia lainnya dengan dalih manipulatif, apalagi dengan klaim demi kepentingan-Nya. Dengan pemaknaan seperti itu, sebetulnya Idul Adha mengandung semangat pembebasan bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Idul Adha menegaskan dua hal penting yang terkandung di dalamnya. Pertama, semangat ketauhidan, yakni keesaan Tuhan yang tidak memilah antar manusia atau membeda-bedakannya. Di dalam semangat ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apapun. Baik nama kepentingan sendiri, bahkan tidak atas nama agama. Kedua, Idul Adha adalah suatu penegakan nilai-nilai kemanusiaan, yang menekankan pentingnya solidaritas dan kesatuan kemanusiaan tanpa dideterminasi kepentingan di luar pesan inti ketuhanan. Maka, ritual keagamaan – termasuk ibadah qurban – selalu mempunyai dua dimensi. Dimensi keyakinan pada Tuhan dan praksis sosial-kemasyarakatan. Sebab, agama memang diperuntukkan bagi manusia dan diturunkan ke bumi untuk memperbaiki tatanan sosial yang tidak terstruktur dengan rapi dan harmoni.
            Namun, risalah kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama, tereduksi ritualisme aspek ibadah kepada Tuhan. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan semata, terlepas dari kepentingan sosial-kemanusiaan. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang. Maka, saya pikir problem kita hari ini adalah lunturnya proses menegakkan keadilan, sehingga Idul Adha kali ini adalah keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial di antara manusia.
            Oleh karena itu, yang perlu kita usahakan kini adalah bagaimana menegakkan keadilan di bidang-bidang sosial-ekonomi, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang. Sekarang, kita membutuhkan dua sosok simbol keteladanan, yakni Ibrahim a.s sebagai pejuang pembebasan kemanusiaan itu sendiri, dan Ismail a.s sebagai pesan simbolik kolektivitas menegakkan nilai-nilai keilahiyan di tengah masyarakat.
            Itulah yang harus dipraksiskan setiap saat, sepanjang hayat yang bisa diawali dengan menangkap semangat Idul Adha. Sebab, solidaritas kemanusiaan adalah kebiasaan ilahiyah yang harus mendarah daging, sesuai dengan kata idul, yang berarti adat atau kebiasaan yang terus berulang dilaksanakan dalam seluruh aktivitas hidup manusia beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar