Pendahuluan
Developmentalisme adalah kemistri ideologis antara kepentingan negara industri maju dan kepentingan elite politik negara dunia ketiga. Istilah ini tepat untuk menggambarkan realitas obyektif haluan ekonomi negara dunia ketiga ketimbang neoliberalisme, yang lebih kompleks pengertiannya. Neoliberalisme juga mencerminkan kepentingan sepihak negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, dalam mempertahankan hegemoni ekonominya.
Mula-mula developmentalisme adalah salah satu teori pembangunan, yang berkembang menjadi ideologi. Demikian tinjauan ulang Tony Smith, pada 1985, setelah teori pembangunan internasional diketahui keberhasilan dan kegagalannya. Ideologi ini timbul dan berkembang menurut versi negara industri maju dan negara dunia ketiga.
Di Amerika, teori ini berkembang dari doktrin Four Points Program yang dilancarkan Presiden Harry S. Truman pada 1949, sebagai landasan politik luar negerinya. Program itu mencakup kerja sama internasional lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemulihan ekonomi akibat kerusakan Eropa dari Perang Dunia II, pertahanan negara-negara Dunia Bebas dari ancaman agresi yang bermuara pada pembentukan pakta-pakta militer, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan bangsa-bangsa.
Pembahasan
Sejak krisis melanda negara ini, akhtifitas perekonomian bangsa nyaris lumpuh total terotama kegiatan ekonomi yang bergerak dalam bidang Real stste. Properti maupun bidang-bidang elektronik. Hal tersebut smakin memperparah kondisi bangsa ini. Krisis yang terjadi dilihat lebih dalam bukanlah hal ang almiah namun merupaka sebuah akibat dari sistem perekonomian dan pemerintahan dengan segala kebijakan yang telak dilaksanakan, telebih lagi krisis yang terjadi di indonesia ini lebih merupakan akibat dari krisis yang terjadi di negara-negara maju seoerti Amerika Serikat. Semua itu tidak terlepas dari wacana developmentalisme bagi negara-negara berkembang seperti indonesia, namun yang terjadi meskin sebaliknya yaitu keterbelakangan ekonomi akinat krisis ekonominya.[1]
Developmentalisme merupakan kelanjutan program pemulihan ekonomi dunia ketiga. Motif utamanya adalah membendung pengaruh komunisme di negara dunia ketiga yang cenderung memilih bentuk lain sosialisme. Asumsinya, sumber penyebaran komunisme adalah kemiskinan. Karena itu, penangkal penyebaran komunisme adalah pembangunan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan. Sedangkan di dunia ketiga lahir nasionalisme ekonomi sebagai kelanjutan nasionalisme politik sesudah merdeka dari penjajahan.
Nasionalisme ekonomi mengambil berbagai bentuk, terutama industrialisasi. Dari negara-negara Amerika Latin, melalui Raul Prebisch, lahir gagasan industrialisasi substitusi impor yang bertujuan mengganti barang-barang impor dengan produksi domestik. Perekonomian nasional bisa bebas dari ketergantungan pada luar negeri. Program ini sesungguhnya merugikan negara industri maju yang telah mengekspor barang konsumsi ke negara-negara bekas jajahan.
Teori pembangunan internasional mendukung elite politik dunia ketiga ke jenjang kekuasaan. Syaratnya, mereka harus bisa menyukseskan pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing sekaligus memberikan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya internasional, terutama modal finansial. Menurut teori itu juga, keberhasilan pembangunan adalah sumber legitimasi bagi elite politik untuk memerintah. Sehingga elite politik berhak atas legitimasi politik, de facto maupun de jure, berupa klaim keberhasilan pembangunan ekonomi. Ini merupakan insentif bagi elite politik negara dunia ketiga untuk mengikuti haluan developmentalisme.
Analisis
Di Indonesia, teori pembangunan internasional mulai dicoba oleh beberapa kabinet yang dipimpin elite politik Masyumi-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Katolik, yang antikomunis dan didukung elite militer. Di masa Orde Baru, developmentalisme dijalankan oleh koalisi militer-intelektual-pengusaha.
Kritik terhadap developmentalisme datang dari haluan kiri dan kanan. Dari sisi kiri, developmentalisme dikritik karena menguatkan ketergantungan dunia ketiga terhadap Amerika dan negara maju lainnya. Bahkan perekonomian nasional makin didominasi modal asing. Sedangkan dari sisi kanan, developmentalisme dinilai telah melahirkan pemerintahan otoriter, bahkan akhir-akhir ini melahirkan rezim antikapitalis dan prososialis, seperti di Kuba, Venezuela, Ekuador, Bolivia, dan Argentina—kendati penyebaran komunisme telah berhenti. Dengan kata lain, developmentalisme telah melahirkan musuh-musuh baru dalam konteks melawan neoliberalisme.
Komunisme sebagai musuh telah digantikan rezim-rezim antidemokrasi. Namun yang kurang disadari adalah developmentalisme telah melahirkan musuh-musuh baru yang lebih cerdas. Kritik yang cerdas dan inovatif ini muncul dari kapitalisme sendiri, yang telah diramalkan Joseph Schumpeter, pemula teori ”Economic Development” dan pengagum dinamika kapitalisme. Developmentalisme sebagai salah satu bteori perubahan sosial sebagaimana teori modernisasi juga terkadang bersifat a-historis. Hukum-hukumnya sering dianggap bersifat universal tanpa melihat bagaimana konteks keidupan masyarakat serta element-element yang ada dalam masyarkaat tersebut baik dari segi historisitas maupun realitasnya. Ada kecendrungan bahwa teori-teori yang tergabung dalam upayua developmentalisme dapat belaku kapan saja dan dimana saja.[2]
Di Indonesia, developmentalisme masih tetap bertahan. Ini tampak dalam klaim-klaim keberhasilan pembangunan oleh partai-partai politik yang berkuasa, khususnya Demokrat, Golkar, dan Partai Keadilan Sejahtera. Klaim keberhasilan itu di antaranya pengendalian inflasi dan penjagaan stabilitas moneter, tercapainya swasembada beras, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin, peningkatan anggaran pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat, peningkatan angka ekspor, serta pertumbuhan ekonomi di tengah krisis keuangan global. Padahal keberhasilan di bidang politik sebenarnya tak kalah penting, terutama dalam menjaga negara kesatuan, mereformasi organisasi militer tanpa menimbulkan masalah, serta menyelesaikan masalah konflik.
Developmentalisme agaknya masih akan bertahan sebagai ideologi pembangunan elite politik. Pertama, kalangan ilmuwan dan cendekiawan masih menerima ukuran dan kriteria keberhasilan pembangunan yang berkisar pada konsep pertumbuhan ekonomi, seperti diwariskan oleh rezim Orde Baru yang telah menegakkan haluan developmentalisme dengan cukup kokoh. Kedua, masyarakat, dengan tingkat kecerdasannya, kini bisa menerima klaim-klaim keberhasilan itu. Terbukti dari kemenangan (versi hitung cepat) Partai Demokrat dalam perolehan suara pemilu legislatif. Ketiga, perekonomian Indonesia masih memikul sindrom ketergantungan pada asing yang dikuasai Amerika dan, karena itu, akan tetap memasang teknokrat-teknokrat yang tak menentang neoliberalisme dalam pemerintahan.
Catatan Kritis
Berdasarkan kondisi-kondisi objektif masyarakat indonesia secara umum baik dari segi ekonomi maupun tingkat kesejahtraannya puluhan tahun terakhir bisa disimpulkan bahwa ssejauh ini konsep developmentalisme yang dianggap sebagai jalan keluar bagi rakyat yang berada di negara berkembang tidak memberikan pengaruh terkait upaya mensejahtaakan kehidupan bangsanya merupakah uporia belaka. Kondisi real yang terjadi menunjukkan betapa ukuruan kesejahtraan masyarakat sebuah negara hanya dilihat dari segi pertumbuhan ekonominya saja. Padahal lebih jauh dari pada itu, kondisi dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap saja tidak dibarengi dengan meningkatnya kesejahtaraan hidup rakyat yang baik namun yang terjadi malah sebaliknya.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa developmentalisme yang bersifat deterministik bukanlah suatu solusi untuk menjawab permasalahan yang ada di negara dunia ketiga. Pembangunan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat sebuah negara berkembang akan berakhir pada kegagalan bahkan semakin memperparah kondisi masyarakatnya. Dalam hal ini, Negara Republik Indonesia bersama para elit yang aada didalamnya sebagai sebuah naungan bagi rakyat yang ada didalamnya terlihat sebagai alat kepentingan yang mmenindas. Bagaimana tidak, fakta yang terjadi menunjukkan ketidakberpihakannya para elit pemerintah terhadap rakyatnya.
Maka jika diteropong jauh kedepan, Developmentalisme akan tetap bertahan selama ada persepsi tentang kemistri antara kepentingan negara maju, terutama Amerika, dan elite politik Indonesia. Kritik tersebut mengarah ke gejala utang luar negeri yang ternyata meningkat, program bantuan tunai yang dinilai populis tapi tidak mendidik dan tak mendorong swadaya masyarakat, atau ketergantungan terhadap modal asing, yang semuanya merupakan elemen pokok developmentalisme tetapi sama sekali tidak pro-rakyat.
Referensi:
Zubaedi. Dr,.M.Ag,.M.pd,. 2007. Wacana Pembangunan Alternatif : Ragam Persepektif Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Qodir, Zuli. 2002. Agama dan etos dagang. Solo: Pondok Edukasi
Fakih, Mansour.Dr, 2001. Runtuhnya Teoti Pembangunan Dan Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[1] Zuli Qodir, 2002. Agama dan etos dagang. Solo: Pondok Edukasi. Hal. ix
[2] Arif budiman, 1995. Teori Pembanguan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar