Latar belakang
Angka melek huruf rendah tentu partisipasi pendidikan juga kecil. Kenyataan yang tak sesuai dengan harapan para pendiri bangsa ini. Program wajib belajar yang tidak tuntas ini karena rendahnya komitmen pemerintah. Seakanakan urusan pendidikan bukan bagian dari tanggung-jawabnya. Terlebih ketika dunia international melihat pendidikan memiliki potensi pasar strategis. Bukan pemerintah mulai serius merumuskan program wajib belajar, tetapi sibuk membikin sekolah unggulan. Sekolah yang bisa dan mampu kompetitif di arena global.
Bangunan proyek sekolah unggulan ini kemudian dipermulus oleh gagasan untuk memberi sangkar Badan Hukum untuk semua jenjang lembaga pendidikan. Walau masih kontroversi tapi RUU BHP membuat kecemasan baru tentang komersialisasi. Dengan penetapan status badan hukum yang terkena dampak pertama adalah pembiayaan.
Tapi pendidikan tak hanya soal biaya, melainkan penerapan kurikulum yang terus-terusan bermasalah. Ada baiknya kita menengok keberadaan kurikulum. Tak bisa disangkal kurikulum yang diterapkan selama ini telah memenjarakan kemampuan potensial banyak siswa. Disana-sini muncul ungkapan, ganti menteri ganti kurikulum. Dan pergantian selalu memakan ongkos yang tak sedikit.
Selama kurun kemerdekaan, paling tidak sudah delapan kurikulum diterapkan dalam dunia pendidikan diIndonesia. Kurikulum 1947, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang mulai diuji-cobakan tahun 2004. Tahun 1999 sempat pula keluar suplemen penyempurnaan kurikulum 1994. Dan kini berorientasi pada KTSP dimana guru lebih diberi banyak kebebasan untuk mengembangkan materi.
yang tidak berdasar atas kebutuhan dan lebih mengikuti kepentingan pragmatis menyebabkan pendidikan kehilangan essensinya. Kurikulum kemudian menambang banyak kritik: bias gender7, Jawa sentris, otoriter dan pengelabuan masa lalu. Kekacauan kurikulum ini yang menyulut beragam kontroversi. Dari sisi jam pembelajaran saja kita makin tak menghargai hak anak. Indonesia sendiri, di mata banyak kalangan, memiliki jam sekolah terpanjang.
Pembahasan
Penindasan dalam pendidikan
Dalam setahun jam pelajaran anak SD hingga SMA di Indonesia ternyata lebih dari 1.000 jam per tahun. Angka ini terlama di dunia padahal, jumlah jam sekolah di Negara-negara Asia Pasifik (yang bukan termasuk Negara maju) hanya 900-960 jam per tahun8. Jam pelajaran yang panjang ditambah dengan beban buku yang banyak. Rata-rata tiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 di Indonesia dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang bila ditimbang mencapai 43 kilogram. Padahal rata-rata berat seorang murid SD tak mencapai segitu! Keadaan ini membawa pesan yang serius, betapa kita ingin memacu kemampuan anak melebihi potensinya. Situasi yang kemudian membaw€a lembaga pendidikan menjadi sarang dari serangkaian aktivitas kekerasan dan berimbas pada praktek pelanggaran HAM. Kekacauan kurikulum membuat pendidikan tak mampu menghargai anak. Mereka yang bodoh sering tidak dihargai. Lebih-lebih menjamurnya kelas-kelas akselerasi membuat lembaga pendidikan tidak mengajarkan kebersamaan. Mereka yang pintar berada di kelas khusus. Istilahnya yang punya bakat cerdas perlu dibedakan dengan yang bodoh. Tindakan yang sama dilakukan untuk mereka yang miskin. Bagi yang tak mampu membayar SPP sekolah kadang menegur anaknya, bukan orang tuanya..
pendidikan telah mengabaikan ketidak-mampuan ekonomi siswa. Mereka yang tidak mampu bukan dijamin tapi dikeluarkan dari lingkunganya. Dampak paling tragis adalah bunuh diri. Kurikulum yang tak memberi anak proses pembelajaran yang berbasis harapan akan memudahkan anak frustasi. Data ini adalah sinyal betapa buruknya penanganan pendidikan disini. Pendidikan yang seharusnya melindungi hak-hak anak malah jadi tempat penganiayaan. Sekolah yang sebaiknya merawat etika dan akal budi malah jadi tempat pembodohan. Ini belum terhitung berapa banyak kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Kekerasan, frustasi dan bunuh diri menjadi perangai yang umum dilakukan oleh para pelajar. Mereka seakan dipacu untuk menjadi yang terbaik dengan kepungan materi pembelajaran yang padat dan tidak masuk akal. Pembelajaran yang membuat miskin kreativitas dan mengabaikan empati akan membawa siswa terdidik menjadi egois. Pendidikan yang tidak menghargai perbedaan dan kurang melatih kepekaan sosial menjadi tidak manusiawi dan keji. Keadaan ini akan membuat pendidikan terjerembab dalam siklus kekerasan.
Negara, ringkasnya, telah mengabaikan hak-hak dasar pendidikan. Kebijakan negara yang tidak mengenakan persepektif HAM diawali dari fokus kebijakan yang gagal. Fokus kurikulum yang tidak emansipatoris, kebijakan rekruitmen yang tidak berbasis pemerataan dan kurang dihargainya profesi guru. Cacat kebijakan 10 inilah yang kemudian membawa kegagalan pendidikan lebih serius. Upaya untuk mengatasi semua masalah ini tak bisa diletakkan dalam perspektif regulasi saja melainkan memerlukan campur tangan yang berdasar atas pengukuhan peran negara. Apa yang tertera di bawah ini memberikan gambaran utuh mengenai kegagalan pendidikan dalam semua lini pengelolaan.
Penutup
Pendidikan pada dasarnya adalah hak dasar semua warga. Jika pemerintah memang tak mampu membuat kurikulum yang baik, setidaknya mau melakukan kebijakan yang membuat semua anak bersekolah. Gagasan tentang pajak pendidikan yang disandarkan pada perusahaan atau sekolah International sangatlah berarti. Kebutuhan pendanaanya bisa disandang dari sana. Juga pemerintah wajib dituntut jika melakukan pengabaian atas hak-hak pendidikan. Misalnya kemenangan beberapa kalangan atas alokasi budget 20%. Putusan MK yang menjatuhkan kesalahan pada pemerintah memberi sugesti yang kuat akan pentingnya advokasi. Tak hanya itu. Gerakan membela nasib dunia pendidikan juga dilakukan oleh para guru.
Forum Guru Independen adalah salah satu organisasi guru yang cukup progresif. Jaringan antar gerakan yang melihat pendidikan merupakan salah satu problem dasar, perlu diperkuat dengan melibatkan dan mengaktifkan masyarakat sebagai bagian dari korban. Karena dengan tekanan publik yang besar, pemerintah semustinya mulai berpaling danberkaca pada sejarah: bahwa pendidikan sajalah yang sesungguhnya mampu melahirkan bangsa ini kembali. Sebuah bangsa yang dulu pernah punya nama besar dan dipimpin oleh orang besar. Sebuah bangsa yang sebaiknya bisa percaya bahwa kemajuan terletak pada meratanya pendidikan. Fidel Castro, Hugo Chavez, Morales dan Akhmadinedjad adalah pemimpin yang telah melakukan itu.
Referensi
Tony D Widiatono (ed), Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004, Jakarta
Jeremy Seabrook, Para Perintis Perubahan, 1998, YOI, Jakarta
Prasetyo, eko. Guru: Mendidik Itu Melawan, 2006, Resist Book
Tidak ada komentar:
Posting Komentar