Teori-teori Sosiologi

Minggu, 05 Juni 2011

Pendidikan dalam jerat kapitalisme


Latar belakang
            Selain budi atau akhlak, manusia masih memerlukan sejumlah hajat untuk dapat hidup layak di dunia ini. Manusia memerlukan makanan dan minuman, kesehatan dan kebersihan, pakaian dan keindahan, hunian dan pemukiman, transportasi dan komunikasi, serta budi bahasa dan pendidikan. Dari waktu ke waktu, hajat hidup ini memperoleh standar baru sesuai dengan perkembangan zaman. Acuan dari standar ini selalu berpatokan kepada martabat manusia, sehingga dalam batas kemungkinan, manusia terus berusaha untuk mempertinggi martabat kemanusiaan di bumi ini. Tanpa mengurangi perhatian kita kepada kepentingan berbagai hajat lainnya di dalam hidup ini, kita mencoba untuk melihat satu saja di antara berbagai hajat hidup itu.
             Kita melihat hajat hidup yang berbentuk pendidikan karena disadari atau tidak bahwa pendidikanlah yang saat ini menjadi penunjang utuk memenuhi kebutuhan kebutuha diatas yang mengikutinya. Kita menelaah bagaimana pendidikan ini berkaitan dengan perkembangan kehidupan di dalam masyarakat. Dan kita mencatat pula sebagian hal yang mempengaruhi pendidikan beserta standar di dalam pendidikan itu. Standar baru di dalam pendidikan selalu menuntut adanya perubahan di dalam pendidikan. Perubahan ini dapat saja muncul dalam berbagai wujud. Ada kalanya, perubahan itu muncul dalam bentuk pembaruan sistem. Ada kalanya pula, perubahan itu tiba dalam bentuk bahan pelajaran baru. Perpaduan di antara berbagai perubahan di dalam pendidikan membawa pendidikan kita ke dalam kegiatan yang selalu dinamik. Dan bersama dinamika itu, pendidikan kita berusaha untuk berkembang bersama dengan semua hajat yang ada di dalam hidup manusia. Dalam batas tertentu, standar baru pada pendidikan berkaitan pula dengan keadaan hidup di dalam masyarakat.
            Pada waktunya, pendidikan menyesuaikan diri kepada keadaan masyarakatnya. Dan pada saatnya pula, pendidikan menjadi perintis bagia perubahan di dalam masyarakat. Kaitan di antara pendidikan dan masyarakat ini bersumber pada hakikat hidup. Dan hakikat hidup itu selalu menuntut agar kaitan demikian dapatmembuat seluruh hajat hidup manusia menjadi satu sistem yang utuh. Bagi sekelompok manusia, kata abstrak yang memadukan pendidikan dengan masyarakat ini, perlu dieja ke dalam bentuk yang kasat mata.

Pembahasan
Fenomena pendidikan saat ini tidak bisa dilepaskan dari jeratan kapitalisme yang saat ini menguasai dunia di segala sektor. Sistem yang kemudian lahir kepermukaan sesunggunhnya adalah penghisapan dan penindasan yang kerap kali tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat indonesia. Dominasi imprealisme sebagai otak kapitalis bisa dikatakan sangant kuat mencengkram, terutama di bidang pendidikan yang kemudian memaksa sistem pendidikan untuk mengikuti sistem kapitalisme itu sendiri, sehingga berakibat pada dehumanisasi yang kemudian menyengsarakan rakyat.
            Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, selain masalah khusus utama (pendidikan dan pekerjaan), pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat, yakni penindasan imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme-birokrasi. Pemerintah, sebagai representasi dari tuan tanah dan borjuasi besar komprador, memang tidak sedikit mengeluarkan kebijakan di sektor pendidikan. Banyak program dan aturan yang dikeluarkan, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lain sebagainya, namun tetap tidak bisa secara radikal memecahkan problem umum di sektor pendidikan, seperti tingginya angka putus sekolah dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap perguruan tinggi. Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa dicekoki teori-teori lama yang sudah tidak relevan dengan keadaan sosial di dalam negeri.
            Pengetahuan yang ditransformasikan di bangku-bangku akademik ini telah diarahkan sedemikian rupa untuk mencetak tenaga kerja-tenaga kerja tidak terampil untuk mengoperasikan mesin-mesin teknologi rendah pada industri manufaktur milik imperialis di dalam negeri.  Pada ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan ‘keunggulan komparatif’, yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, serta profesionalitas a la borjuasi. Selain itu, mereka juga dipaksakan untuk menerima demokrasi  a la imperialis dengan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab, tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya.
            Dalam menjawab persoalan kemiskinan, pendidikan nasional dibatasi pada aspek solidaritas sosial yang semu. Persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak. Krisis finansial dijelaskan sebagai buah spekulasi yang berlebihan. Lantas, masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama. Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri ini akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa. Kekuasaan fasisme akan semakin tumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan, yang menyebabkan semakin dikekangnya hak-hak politik dan ruang demokratis di lembaga pendidikan. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti, pemberian sanksi akademik, dari mulai drop-out (DO) hingga kriminalisasi terhadap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa. Sebagaimana disinggung sebelumnya, survey Badan Perencanaan dan Pembangunan nasional tahun 2009 mencatat 4,1 juta, atau sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja menganggur. Sementara itu, angka pengangguran intelektual kurang lebih 2 juta orang. Jumlah ini dinilai akan terus melonjak seiring dengan krisis global dan masuknya Indonesia dalam sejumlah kesepakatan perdagangan bebas. 
            Pemuda tani dan buruh semakin sulit untuk mempertahankan hidupnya dengan situasi demikian. Mayoritas pemuda di pedesaan terhisap pada relasi setengah feodal yang membutuhkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata.  Pengetahuan dan kapasitas pekerja—di pedesaan dan perkotaan—dibelengu oleh alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan pekerja terampil dan berpengetahuan. Dengan demikian, lapangan pekerjaan  hanya dapat menampung sedikit tenaga kerja, itu pun mereka yang berpendidikan, sedangkan kita tahu bahwa pendidikan saat ini sudah tidak lagi berbicara mengenai humanisasi sehingga terjadi persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan yang mengakibatkan mereka menjual tenaga dengan harga murah.
Keadaan demikian menjadikan banyak pemuda desa—laki-laki dan perempuan—mengadu nasib sebagai buruh migran yang jumlahnya telah mencapai 6 juta lebih dan tersebar di berbagai negeri. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi dan bekerja di sektor perkebunan, pertambangan, pekerja rumah tangga, dan pabrik-pabrik.

Kesimpulan
            Penghisapan dan penindasan tersebut menjadikan pemuda tani dan buruh juga mengalami keterbelakangan secara budaya dan pendidikan, sama halnya yang dialami pelajar dan mahasiswa. Akan tetapi, keterbelakangan budaya di pedesaan lebih tinggi akibat dominasi politik, ekonomi dan budaya sisa-sisa feodal yang dipertahankan oleh klas-klas reaksi, yakni tuan tanah dan kapitalis birokrat. Untuk menjaga pengaruh dominasi feodalisme, para tuan tanah mempertahankan seperangkat alat kebudayaan yang dibungkus atas nama: “adat dan nilai-nilai luhur
sulitnya mendapatkan akses pendidikan di setiap jenjang—terutama pemuda yang berlatar belakang keluarga klas buruh, buruh tani/tani miskin/tani sedang bawah, serta borjuasi kecil perkotaan seksi bawah—karena tingginya biaya pendidikan.
            Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi pada penindasan imperialisme dan feodalisme, sehingga berwatak pro-imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll
             Sehingga saat ini bentuk penindasan dalam ranah pendidikan sudah demikian akut, betapa pendidikan hari ini sudah tidak bisa menjawab permasalahan objektif yang ada dalam masyarakat membuat asumsi tersebut menjadi sebuah masalah  baru yang harus segera di pecahkan. Namun kemudia, sistem yang saat ini sudah mencengkram kuat mematikan nalar logis masyarakat untuk memahami semua itu sehingga pendidikan yang pada dasarnya sebagai pembodohan dianggap sebagai sesuatu yang ilmiah.

Daftar Bacaan
Materi Pendidikan Front Mahasiswa Nasional
Gunaryadi (2004), Dunia pendidikan Indonesia di tengah arus globalisasi
H.A.R. Tilaar, 2004, Multikulturalisma, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Penerbit Grasindo
H.A.R. Tilaar, 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Penerbit Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar