Teori-teori Sosiologi

Sabtu, 04 Juni 2011

SOSIOLOGI_ Orientalisme

Pendahuluan
Sejak suasana keterbukaan merasuki diskursus publik, mulai bermunculan gagasan-gagasan kritis yang emperingatkan kita tentang ke(belum)merdekaan Indonesia sebagai bangsa di saat semua lapisan masyarakat mulai sibuk memperingati kemerdekaan. Sejumlah issue diangkat, mulai dari kemerdekaan secara politis tapi belum merdeka secara kultural, hingga persoalan “penjajahan” baru dalam sendi-sendi ekonomi dan ranah budaya.
Kritik ini menjadi menarik karena memang substansi kemerdekaan tidak bisa dibatasi hanya dalam ritus upacara Detik-Detik Proklamasi atau arena perlombaan kampung unruk memperingati hari kemerdekaan. Kritik kemerdekaan selalu ingin membuka ruang refleksi/pemaknaan kembali kondisi (nasib) bangsa kita dewasa ini sebagai bangsa yang telah memerdekakan diri selama 65 tahun.
Dalam tulisan ini kami mencoba melihat kondisi Indonesia yang sudah terlepas dari kolonisasi penjajah menggunakan kerangka berpikir yang dihadirkan oleh Edward Said, tetapi dalam realitas yang berbeda dalam pengertian; tulisan berikut ini tidak menggunakan objek kajian yang sama tetapi menggunakan bingkai perspektif poskolonial dalam rangka menjelaskan fenomena yang ada di Indonesia atau dengan bahasa lain, kami berangkat dari sebuah fenomena yang ada di Indonesia, kemudian menjelaskannya dengan logiaka teori poskolonial yang di gunakan oleh Edward Said.
Latar belakang
Merefleksikan “kemerdekaan” tidaklah mudah. Salah satu syaratnya ialah menemukan cara pandang baru untuk membaca teks sejarah kemerdekaan di satu sisi dan kolonialisasi di sisi yang lain, ke dalam konteks kehidupan konkret masyarakat aktual (kekinian). Edward Said, salah satu perintis utama studi kolonialisme asal Palestina, mengajukan gagasan tentang orientalisme. Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap masyarakat dan budaya timur sebagai "sesuatu yang asing" bagi masyarakat Barat, bahkan seringkali dipandang sebagai sejenis alien atau objek yang indah dan eksotik. Berbeda dengan pemahaman kolonialisme konvensional, orientalisme tak bisa disamakan dengan rasisme yang kasar dan brutal. Lebih tepat jika ia dipahami sebagai wacana yang memperlihatkan sense perbedaan yang fundamental antara "kami orang Barat" dan "mereka orang Timur". Jika kolonialisme berwatak dominatif, maka orientalisme adalah penguasaan yang sifatnya hegemonis.
Pemikiran Edward Said telah menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi analisis kolonialisme dan pemikiran colonial. Lapangan penelitian baru yang dirintis oleh Edward Said di lingkungan dunia akademis, kemudian dikenal dengan teori poskolonial (postcolonial theory) Oleh karena itu focus kajian poskolonial adalah masalah ketikadilan dalam bidang social budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemology Barat yang sudah berkembang sejak awal abad modern.
Edward Said dalam bukunya yang berjudul Orientalisme (1994) juga menyatakan bahwa bahwa eksistensi “Timur” hanya dapat ditemukan dalam perbuatan, praktek, serta kata‐kata yang dilakukan oleh aktor‐aktor Barat. Dengan demikian, menurutnya dunia Timur dilahirkan oleh sentralitas Barat. Dalam pengertian ini, Barat bukan sekedar memunculkan, tetapi juga menyesuaikan, merekonstruksi, serta mengilustrasikan Timur sesuai dengan logika dan kesadaran Barat. Dan lebih dari itu, semua upaya tersebut sebagian besar ditujukan untuk kepentingan penindasan, investasi, dan proyeksi.
Hal inilah yang menyebabkan dalam banyak hal terutama kemerdekaan nasional bangsa‐bangsa jajahan telah menciptakan kamuflase terhadap kerusakan sesungguhnya pada fondasi ekonomi dan sosial masyarakat terjajah.
Penjajahan baru di indonesia
Gagasan orientalisme Edward Said menjadi inspirasi berbagai praksis pemikiran untuk merefleksikan kemerdekaan. Memang, penindasan bangsa “Barat” terhadap bangsa “Timur” dalam arti yang represif sudah tidak terjadi. Namun, hegemoni kebudayaan berorientasi “Barat” dalam alam pikiran, cita rasa dan perilaku masyarakat “Timur” masih terjadi. Bahkan hegemoni kebudayaan tersebut semakin tersebar luas lantaran operasi media massa modern.
Untuk melihat Indonesia, tidak seharusnya terus menerus menghadap-hadapkan “Barat” dengan “Timur” sepertinya tak lagi terlalu relevan dalam konteks paling aktual, mengingat operasi kekuasaan tidak selalu berlangsung secara linier sebagai pengaruh hegemonik dari “Barat” terhadap “Timur”, melainkan berlangsung dari pusat kekuasaan terhadap wilayah pinggiran, entah secara politik, ekonomi maupun kultural. Pendekatan pusat-pinggiran ini diperkenalkan oleh beberapa ilmuan dari kelompok strukturalis, salah satunya Johan Galtung. Menurut model pengaruh hegemonik dalam struktur pusat-pinggiran, negara pusat mempengaruhi negara pinggiran, pusatnya negara pusat mempengaruhi pinggirannya negara pusat, dan pusatnya negara pinggiran mempengaruhi pinggirannya negara pinggiran.
Meskipun kajian poskolonial yang sudah di hadirkan Edward Said lebih pada bagaimana barat medefinisikan timur, namun hal tersebut secara tidak langsung memiliki korelasi untuk menjelaskan kondisi yang ada di Indonesia dengan menggunakan asumsi yang sama meskipun dengan objek yang berbeda.
Untuk memperjelas analisis kolonisasi hegemonik pusat-pinggiran tersebut ke dalam konteks masyarakat indonesia, dapat diilustrasikan dengan melihat betapa rejim otoritarian Orde Baru selama lebih dari 30 tahun tidak hanya memberangus partisipasi masyarakat warga, melainkan juga merasukkan kekuasaannya ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk ke 2 wilayah privat tempat tidur melalui program Keluarga Berencana yang secara tegas mengatur berapa banyak anak yang boleh dihasilkan dalam hubungan suami-istri. Politik masuk ke dapur dan menggelisahkan ibu-ibu Muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak yang diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Politik masuk ke dalam buku-buku sejarah agar secara tegas mengatur cara berpikir peserta didik tentang siapa pahlawan dan siapa pengkhianat di negeri ini.
Hegemoni: Jawa dan Luar Jawa
Dalam perjalanan hidup dan intelektualitas dewasa ini, masyarakat indonesia selalu diwarnai dengan berbagai sikap “hipokrit” lingkungan sekitarnya. Dimana rasa permusuhan dan pertentangan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara penindas dan yang tertindas dan lain sebagainya selalu disebarkan lewat media, pembunuhan karakter atas nama politik, agama, ras dan lain sebagainya sudah menjadi tontonan rutin setiap hari.
Jelas terlihat bahwa hal tersebut kemudian berdampak pada beberapa hal yang cukup memiliki kekuatan hegemonik pada ranah kehidupan masyarakat yang lainnya seperti gaya hidup, bahkan sampai pada pergeseran pola pikir masyarakat Indonesia itu sendiri.
Bertolak dari sudut historisitas bangsa indonesi yang sekian lama dijajah secara fisik hingga kebentuk sekarang yaitu penjajahan baru dengan cara dan modus baru, maka untuk menganalisis kolonialisme dan artian pos-kolonial tidak selalu harus mengedepankan contoh pengaruh politik-ekonomi-budaya Amerika terhadap negara-negara dunia ketiga, melainkan bisa pula pengaruh kebijakan aparatus pemerintah sebagai pengatur ruang publik yang berdampak pada pengkotak-kotakan budaya dan pengklasifikasian masyarakat yang ada di Indonesia. Misalnya dengan menjadikan pulau jawa sebagai pusat pemerintahan pada akhirnya menghasilakan pengaruh budaya pada daerah-daerah di luar pulau jawa.
Disamping itu, system demokrasi yang memberikan kebebasan pada dalam berbagai aspek telah membuat keberadaan media massa mendominasi ruang-ruang komunikasi maupun ruang public masyarakat kemudian menjadi factor utama yang segnifikan untuk menjelaskan bagaimana bentuk penjajahan baru di negeri ini antara pemerintah dengan masyarakat hingga berahir pada rahan masyarakat yang satu mendefinisikan masyarakat yang lainnya. Tidak dipungkiri, semua stasiun televisi di Indonesian berpusat di Jawa. terutama Jakarta. Pada titik ini, persoalan desentralisasi pusat kekuasaan dalam ranah image-setting dan bidang lain adalah proses langsung dikte Jawa ke luar Jawa. Meskipun usaha desentralisasi ini telah dilakukan dengan hadirnya otonomi daerah, peran Jakarta sebagai identitas Indonesia belum bergeser. harus dipertanyakan dan dipersoalkan selama dia masih bertendensi untuk memusatkan dan men-general-isasikan partikularisme melalui politik identitas yang menuju politik agensi melalui resistensi.
Kita dapat melihat bagaimana media membawa pola pikir kita untuk melakukan sebuah pemetaan dan pengkotak-kotakan pada bangsa sendiri dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada. Dalam hal ini, terlihat jelas adanya sebuah hegemoni dalam struktur masyarakat Indonesia. Misalnya; betapa bahasa anak Jakarta harus diakui telah mempengaruhi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia selama ini. Peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya. Media dan perangkatnya—terutama televisi dan radio— yang secara umum bisa dikatakan telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda.
Lebih lanjut, Untuk itu kajian poskolonial “cenderung” menggunakan argumentasi yang bersifat terposisikan pada dua kutub atau posisi biner tersebut. Oposisi biner yaitu system yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar kalau ia tidak salah atau sesuatu itu baik kalau ia tidak buruk.
Dalam kaitan dengan konteks Indonesia sebagaimana yang coba dipaparkan dalam tulisan ini, model berpikir oposisi biner ini menempatkan kedudukan pulau jawa lebih memiliki posisi ungggul dibandingkan dengan daerah luar jawa. Karena dalam relasi kekuasaan yang ada saat ini, secara sengaja memang menempatka posisi pulau jawa terutama daerah Jakarta sebagai pihak penguasa dan layak dijadikan tolak ukur berbagai aspek untuk menjelaskan Indonesia secara umum. Secara sengaja ataupun tidak, sesungguhnya kondisi tersebut telah secara baik membentuk sebuah hegemoni baru bahwa jawa lebih baik dari pada daerah lainnya, sehingga terjadi pengklasifikasian dalam berbagai rahah yang ada di Indonesia ini terutama ranah budaya dan ekonomi, dengan mengatakan bahwa budaya (style) orang-orang jawa (Jakarta) lebih modern dari pada orang luar jawa yang kuno atau ketinggalan zaman.
Secara sadar, media telah berhasil menkonsepsikan citra pulau jawa di bidang style lebih baik daripada daerah lain, orang-orang jawa lebih kaya, lebih pintar dan lebih pantas untuk medefinisikan orang-orang yang berada diluar jawa. Lihat saja bagaimana media mengkonsepsikan perempuan misalnya, bahwa perempuan Jawa identik dengan image perempuan Indonesia. Dalam berbagai tayangan media, perempuan Indonesia digambarkan sebagai perempuan Jawa yang halus/lembut, kemudian dalam banyak kasus urusan kosmetika penayangan iklan-iklan juga hanya berbasis pada budaya konsumerisme dan dalam pembentukan image dan stereotyping beauty adalah stereotyping a la Barat yang ‘putih’. Ini adalah perpaduan Barat-Jawa. Bahwa perempuan yang cantik adalah yang putih (baca: Barat) dan lembut (baca: Jawa). Akibatnya kemudian terjadi kolonisasi pada perempuan Indonesia lainnya yang bukan dari daerah jawa seperti Papua, Maluku dan lain sebagainya. Dalam bahasa lain, Perempuan bukan-Jawa mengalami kolonialisasi ganda dengan harus menjadi Barat dan menjadi Jawa. Kemudian juga lahirnya anggapan bahwa pendidikan yang baik berada di pulau jawa serta pulau jawa lebih modern dibandingkan denga papua misalnya.

Penutup
Pada dasarnya praktek kolonialisme memang sudah berakhir, tetapi budaya colonial dalam bentuk hegemoni budaya yang masuk dalam pengertian poskolonialisme masih tetap terjadi di Indonesia.
Dalam berbagai kasus di Indonesia tampak jelas telah terjadi praktek kolonisasi baru dalam bentuk hegemoni, yaitu dengan menggunakan gagasan yang diakomodir memlalui media massa untuk medefinisikan budaya tertentu yang mereka anggap lebih rendah. hal tersebut terjadi erat kaitannya dengan bagaimana kekuasaan yang ada di Indonesia ini berlangsung, karena pada dasarnya praktek penjajahan dalam model baru adalah erat kaitannya dengan kekuasaan.
Kondisi pulau jawa yang lebih dianggap memiliki pengaruh yang besat dan cocok untuk menjadi tolok ukur untuk menjelaskan Indonesia dibandingkan dengan menggunakan daerah lain sesungguhnya melahirkan fakta baru bahwa realitas yang ada di pulau jawa sebagai daerah yang lebih mapan dan lebih manju di bandingkan daripada daerah diluar jawa serta fakta bagaimana orang-orang jawa menjadi representasi kaum elit dan kaum modern, secara sadar dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kolonisasi bagi orang-orang yang berada diluar jawa.

 Daftar Pustaka
Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan
Liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu, 2006
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj). Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2003
Edward W.Said, Peran Intelektual (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1998
Edward W said, Orientlisme (terj.) Bandung: Penerbit Pustaka, 1995
Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj).
Yogyakarta: Qalam, 2001
Muhidin M Dahlan, Postkolonialisme: Sikap kita terhadap
Imprealisme. Yogyakarta:Jendela Grafika, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar