Teori-teori Sosiologi

Sabtu, 04 Juni 2011

Islam dan Budaya Lokal

Pendahuluan
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolutif telah berhasil menanamkan akidah Islamiah dan syari’ah shahihah, memunculkan cipta, rasa, dan karsa oleh pemeluk-pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang berkembang secara evolutif pula, baik dari penduduk asli (yang menganut animisme, dinamisme, veteisme, dan sebagainya) maupun pengaruh dari luar (Hindu-Budha). Yang menarik, unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan tersingkir dengan sendirinya, sedangkan yang baik yang mengandung unsur-unsur kepatutan dan kepantasan, hidup secara berdampingan[1].
Berbicara tentang konsep Islam vis a vis tradisi dalam disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yang sering disebut dengan “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition). Konsep ini dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yang menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).
Lebih jauh melihat kondisi Islam di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemahaman seperti di atas, tidak saja akan menemukan keterkaitan historis dengan realitas kesejarahan Islam, tetapi juga akan menemukan satu sisi penting dari awal proses transformasi intelektual Islam yang bertolak dari nilai-nilai universalisme Islam yang dikategorikan sebagai tradisi besar dengan tata nilai dalam setting kultural dan struktural tertentu yang sudah terpola sebelumnya[2].
A.    Latar belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat muslim  mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Itulah sebabnya, dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan.
Hasil islamisasi dengan cara demikian menghasilkan praktik sinkretisme yang luas. Salah satu indikasinya adalah sistem penanggalan Jawa, yang mempertahankan asal usul Hindu kalender Shaka, tetapi mengubah sistem penanggalannya berdasarkan nama-nama penanggalan Islam.
Untuk mengetahui hal itu, pertama-tama kita harus memahami dalam konteks budaya Indonesia, dimana pernah mengalami apa yang dinamakan dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.
Lebih lanjut pengaruh Islam terhadap kehidupan (pembinaan moral) bangsa Indonesia berkisar antara tiga kemungkinan. Yang pertama ialah ajaran Islam berpengaruh sangat kuat terhadap pola hidup masyarakat. Kedua, Islam dan budaya (moral) bangsa berimbang, sehingga merupakan perpaduan yang harmonis. ketiga, ajaran (moral) Islam kurang berpengaruh, sehingga merupakan perpaduan yang ikut menyempurnakan moral bangsa. Ketiga kemungkinan perpaduan itu dapat terjadi di komunitas-komunitas muslim di berbagai tempat di Indonesia.
Akulturasi ajaran tersebut kemudian berkembang menjadi kebudayaan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) Kebudayaan yang didominasi oleh budaya Islam yaitu akulturasi antara dua budaya Islam dan non-Islam, tetapi yang paling menonjol ialah budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ritual-ritual Islam seperti; peralatan yang digunakan pada waktu salat (sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat, wakaf, dan pengurusan pelaksanaan haji; (2) Kebudayaan yang terdiri dari percampuran antara kedua budaya seperti; bangunan masjid, bentuk joglo, pakaian pria ataupun mahramah untuk wanita, lagu, kasidah, tahlil, dan sebagainya; (3) Percampuran kebudayaan yang membentuk pola atau corak kebudayaan tersendiri ialah; sistem pemerintahan (Pancasila), sistem permusyawaratan, dan berbagai pemikiran yang timbul dari berbagai macam pergerakan dan sebagainya.
 Berdasarkan latar belakang diatas, maka pokok pembahasan dalam makalah ini adalah melihat bagaimana bentuk perpaduan islam dan budaya lokal yang ada di indonesia dalam bentuk ajaran maupun budayanya di bidang seni atau kesenian secara asimilasi, akulturasi maupun dalam hal singkretisasi.
 Makalah ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai bentuk-bentuk perpaduan islam dan budaya lokal sehingga menghasilkan sebuah pemahaman terkait budaya-budaya seni maupun  kesenian yang berkembang dalam masyarakat dan  dilihat sebagai sebuah perpaduan antara unsur-unsur agama dan budaya lokal yang ada dalam masyarakat indonesia.

Bentuk-bentuk perpaduan islam dan budaya lokal

A.      Dalam Bidang Sastra Jawa

Setelah islam masuk ke indonesia, secara otomatis nilai-nilai islam dihadapkan pada kondisi masyarakat lokal indonesia terutama jawa yang  memiliki berbagai kebudayaan dengan corak yang berbeda-beda. Dalam bidang ini, islam memiliki ketekaitan dengan karya sastra jawa dalam artian imperatif moral atau dengan kata lain bahwa karya sastra jawa dalam perkembangannya mengalami perpaduan dengan nilai-nilai keislaman sehingga karya-karya sastra yang lahir baik itu dalam bentuk puisi maupun yang lainnya telah diwarnai oleh nilai-nilai islam. 

Secara historis, karya-karya sastra jawa yang lahir dari para pujangga sebelum islam masuk ke indonesia di dominasi oleh aspek-aspek yang bercorak mistis. Namun setelah masuknya pengaruh budaya islam, karya-karya sastra yang kemudian lahih dari para pujangga jawa telah di bumbui dengan ajaran-ajaran islam yang tersurat dalam bait-bait sajak, puisi dan bentuk-bentuk karya sastra lainnya.

Dalam karya sastra ciptaan para pujangga kraton  pada masa perkembanganya, warna islam lebih terlihat dibanding unsur mistisnya. Nilai-nilai subtansi islam sudah sangat mewarnai karya-karya sastra yang diciptakan. Misalnya karya sastra yang menggunakan puisi jawa baru dan lain sebagainya lebih memiliki unsur-unsur kebajikan dan unsur ketauhidan sebagaimana yang diajarkan oleh islam. Contoh lain misalnya adalah mucopat yang pada saat ini sangant kental dengan nilai-nilai keislaman.

Dalam bidang pewayangan

Interelasi nilai jawa dan islam dalam pewayangan merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya jawa. Wayang merupakan suatu produk budaya yang didalamnya terkandung seni estetis. Bahkan wayang selain berfungsi sebagai tontonan ia juga berfungsi sebagai tuntunan kehidupan karena di dalamnya ada nilai-nilai moral[3].

Wayang dan budaya jawa ibarat sisi-sisi keping mata uang logam yang tak terpisahkan, maka untuk memahami budaya jawa tan keno ora (tidak boleh tidak) harus memahami wayang. Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta dengan segala masalahnya. Selain itu tersimpan pula nilai-nilai pandangan hidup jawa dalam menghadapi segala tantangan dan kesulitan hidup[4].

Wayang yang awal mulanya merupakan teradisi masyarakat lokal yang kemudian dimasukkan unsur nilai keislaman dan alur cerita yang  dirubah  dari sumber aslinya adalah manifestasi dari masuknya budaya islam yang kemudian menjadi salah satu sarana dakwah yang dilakukan oleh para wali songo terutama sunan kalijaga.

Wayang sebagai titik temu nilai budaya jawa dan islam adalah sautu momentum yang sangat berharga. Telah banyak literatur yang membahas bagaimana konsep pewayangan sebelum islam masuk keindonesia dan setelah islam masuk ke indonesia. Namun dalam hal ini sekedar mengedepankan fakta bahwa telah terjadi semacam akulturasi budaya pada praktek pewayangan.



B.       Dalam Bidang Arsitektur

Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Contoh dari simbol ini adalah bentuk arsitektur bangunan masjidmasih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah ‘gapura’ nama yang diambil dari bahasa Arab ghofura yang berarti pengampunan

Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat.

Namun demikian, perpaduan islam dan budaya lokal dalam bidang seni tidak hanya dalam bentuk masjid atau makam, namun juga dalam ruang lingkup yang besar, misalnya bentuk kraton, tamansari maupun arsitektur wilayah yang mencerminkan unsur-unsur budaya lokal dan unsur-unsur keislaman.



C.      Dalam Bidang Shalawat

Bentuk-bentuk akulturasi dalam bidang ini dapat juga dikategorikan sebagai suatu dampak dari kentalnya nilai-nilai islam yang mempengaruhi budaya lokal namun nuansa kedua unsur tersebut baik itu islam maupun budaya lokal masih tetap terasa. Contoh misalnya beberapa shalawatan yang ada di jogjakarta :

1.      Sholawat Rodat

Kesenian ini salah satunya ditemukan di daerah “kota santri” yaitu daerah Jejeran, Wonokromo, Bantul. Kelompok kesenian Sholawat Rodat ini menamakan dirinya Kelompok “Lintang Songo”.

Kesenian Rodat merupakan salah satu kesenian tradisi di kalangan ummat Islam. Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisi memperingati Maulid Nabi di kalangan ummat Islam. Kesenian ini menggunakan syair atau syiiran berbahasa arab yang bersumber dari Kitab Al-Berzanji, sebuah kitab sastra yang masykur di kalangan ummat Islam. Isi dari sholawat rodat adalah bacaan sholawat yang merupakan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.

Sesuatu yang khas dari kesenian ini ialah tarian yang mengiringi syair (yang dilagukan) dan musik rebana yang dinyanyikan secara bersama-sama (berjamaah). Tarian inilah yang disebut dengan “rodat”. Tarian ini ditarikan dengan leyek (menari sambil duduk). Praktek tersebut jelas merupakan hasil akulturasi budaya karena barzanji maupun ritual yang ada bukan sepenuhnya ajaran islam.

2.      Sholawat Maulud

Salah satu kelompok sholawat maulud yang masih eksis adalah kelompok kesenian sholawat maulud “puji rahayu” yang berada di daerah Kasihan, Bantul, DIY. Shalawat maulud sebenarnya merupakan tradisi pembacaan shalawat pada saat peringatan maulid Nabi Muhammad. Dalam perkembangannya, tradisi ini menjadi kesenian pembacaan shalawat yang dibacakan pada acara-acara khitanan, aqiqah (kelahiran bayi), maupun acara-acara rutin yang diselenggarakan masyarakat.

Kesenian ini memiliki 2 fungsi bagi masyarakat, yaitu ekspresi keberagamaan dan kesenian. Dalam pertunjukannya, prosesi diawali dengan bacaan sholawat yang diiring terbang, gong, kendang dan gamelan jawa. Perpaduan alat musik tersebut menghasilkan bunyi yang indah yang mengiringi bacaan sholawat yang bersumber dari kitab Al-Barzanji. Sesekali diiringi oleh bacaan “Rowi” (narasi) dalam bahasa Arab. Dalam perkembangannya sudah dicampur dengan lagu-lagu bahasa jawa dan bersumber dari hal-hal yang baru terjadi (missal: mereka menciptakan lagu terkait dengan bencana gempa bumi yang baru melanda Jogja dan sekitarnya).

3.      Sholawat Jawi

Shalawat Jawi di temukan di daerah Pleret, Bantul, dan beberapa juga sudah menyebar di sekitar kecamatan Pleret, atau bahkan di sekitar Kabupaten Bantul. Kesenian ini merupakan salah satu bentuk penegasan jawanisasi kesenian Islam. Kesenian yang berkembang seiring dengan tradisi peringtaan Maulid Nabi ini mengartikulasikan syair atau syiiran shalawat kepada Nabi Muhammad dengan medium bahasa Jawa, bahkan juga dengan melodi-melodi Jawa (langgam sinom, dandang-gula, pangkur dan lain-lain).

Kesenian ini merupakan ekspresi keberagamaan sekaligus ekspresi kesenian bagi pelakunya. Mereka mendapatkan manfaat keberagamaan yang mententramkan hati (sebagai kubutuhan spiritualitas) sekaligus kebutuhan akan keindahan (seni) juga terpenuhi. Kesenian tradisi islam ini di dominasi oleh para oang tua ( rata-rata di atas 50 tahun) dan regenerasi sepertinya tidak. Kalangan mudah lebih senang kesenian yang lebih modern (model dan alatnya). Jadi tidak heran kesenian ini mulai jarang ditemui, karena kelompok-kelompok kesenian ini semakin sedikit.



D.      Dalam Bidang Instrument (Alat Musik)

Instrumen-instrumen yang pada saat ini digunakan oleh umat islam yang ada di jawa pada khususnya juga telah depengaruhi oleh nilai-nilai keislaman dimana pada zaman dahulu peralatan-peralatan seperti gamelan, gong, gambus, rebana dan lain sebagainya digunakan pada ritual-ritual mistis yang pada ajaran islam di anggap sebagai suatu penyimpangan. Namun pada saat setelah unsur nilai islam masuk kedalam budaya lokal masyarakat indonesia, alat-alat tersebut digunakan untuk kepentingan dakwah dan dimaknai sebagai simbol-simbol keagamaan seperti gamelan, gong, gambus, rebana dan lain sebagainya.



E.       Dalam Bidang Seni Lukis

Dalam bidang ini kita dapat melihat peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi Borobudur, Prambanan dls. Dimana pada dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan atau ukiran-ukiran yang menunjukkan budaya jawa terdahulu sebelum masuknya islam.

Berbeda ketika melihat bangunan-bangunan masjid yang megah dan dipenuhi dengan lukisan atau ukiran kaligrafi yang indah. Secara tidak langsung, fakta tersebut mencerminkan adanya proses asimilasi yang kemudian menghasilkan sebuah karya seni yang dahulunya dapat dijumpai pada peninggalan sejarah, sedangkan pada saat ini terlihat dalam bentuk keindahan yang juga merupakan karya seni pada masjid-masjid yang ada di indonesia.

Kesimpulan

Kehadiran Islam ke nusantara tidak lepas dari nuansa, dimana Islam itu lahir. Sungguhpun demikian, ia mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, dimana Islam itu datang. Proses persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan, menjadikan Islam yang ada di nusantara ini, mudah diterima oleh masyarakat. Tidak ada resistensi; yang ada adalah penyambutan. Sungguhpun ada modifikasi, itu tidak lebih pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam tradisi yang telah ada.

Dalam perkembangannya, Islam nusantara dengan wataknya yang moderat dan apresiatif terhadap budaya lokal, serta memihak warga setempat dalam menghadapi tantangan, menyebabkan Islam mudah diterima sebagai agama baru.Bukti nyata dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya lokal dalam bidang seni dapat ditemukan dalam bentuk karya Babad, hikayat, lontara, sastra suluk, mitologi,  qasidah rebana, gambus dan lain sebagainya. Kemudian dari segi bentuk arsitektur bangunan-bangunan atap masjid Demak yang berlapis sembilan “dari Meru” pra Islam, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga yang melambangkan Iman, Islam, dan Ihsan. Budaya selamatan, Maulid Nabi, Yasinan, Sekaten.

Proses perpaduan islam dan budaya lokal di bidang seni juga bermacam-macam, namun secara luas dapat dimakanai sebagai proses akulturasi, asimilasi dan singkretisasi. Sungguhpun demikian, yang lebih menjadi sorotan adalah; bahwa perpaduan budaya islam dan budaya lokal di bibang seni telah memberikan konstribusi besar dalam perjalanan dan perkembangan islam di indonesia.

Demikian makalah yang dapat kami paparkan, disadari bahwa masih banyak lagi proses-proses akulturasi, asimilasi maupun singkretisasi antara islam dan budaya lokal yang tidak kami cantumkan dalam makalah ini. Hal tersebut tidak terlepas dari kurangnnya referensi yang kami miliki. Oleh karena banyaknya kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini, maka kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Kurang dan lebihnya kami ucapkan terimakasih.





Referensi:

Baidhowy, Zakiyuddin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Press

Amin, Darori, Dr. H. M. MA. 2002. Islam dan kebudayaan jawa. Yogyakarta : Gramedia

Syamsul Arifin dkk., 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta : SIPRESS

Koentjaraningrat. 1999.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. Ke-17. Jakarta: Djambatan

Millah,  vol. Viii, no. 2, februari 2009.  Jurnal Studi Agama

Dr. Purwadi Dkk. 2005. Mistik Kejawen Pujangga Ronggowarsito. Yogyakrta : Media Abadi

Damami, Muhammad. 2003. Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.

Geertz, Clifford. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.




[1]QS. 13 (al-Ra’ad) : 17: ... الأرضالنّاسفيمكثفىماينفعفأمّافيذهبجفآءوأمّاالزّبد....  Artinya: “…Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi…” Terjadi akulturasi moral Islam dengan moral masyarakat di mana yang jelek-jelek hilang sedangkan yang baik tetap kekal.

[2]Syamsul Arifin dkk., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta : SIPRESS, 1996) hal. 50-51.

[3] Dr. H. M. Darori Amin, MA. 2002. Islam dan kebudayaan jawa. Yogyakarta : gramedia. Hal 171 

[4] Ibid. Hal 172

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus